Minggu, 29 Juli 2012

Salju turun di rumah

“Bou, yang putih-putih itu namanya apa?” tanya Ari, keponakanku yang sudah berumur dua tahun saat melihat tayangan televisi. Bou adalah panggilan untuk saudara perempuan ayah warga Batak Mandailing yang banyak tinggal di daerah Sumatera Utara.
“Itu salju, iya kan Uda?” jawabku sembari menanya kepastian pada Rago, adik bungsuku yang terpaut 7 tahun dengan Ari, keponakannya. Uda adalah panggilan untuk saudara laki-laki ayah.
“Iya. Itu namanya salju. Salju turun seperti hujan, tetapi berwarna putih.” terang Rago. Meskipun Rago telah duduk di kelas IV SD, tetapi pembawaannya masih seperti anak berumur lima tahun. Mereka berdua sangat akrab. Jika salah seorang tidak kelihatan, maka yang lain akan mencari. Atau jika Ari pulang ke rumahnya di Rantau, Rago akan sangat merindukannya. Demikian juga Ari, dia akan selalu bertanya pada ibunya keberadaan Rago. Oleh karena itu, Ari sering berkunjung ke rumah. Seperti kali ini. 
“Apa salju tuyun di cini Bou?” tanya Ari dengan suara cadelnya. “
Di sini tidak turun salju Sayangku…”
“Kenapa?”
“Di sini cuma turun hujan…”
“Oh, hujaaan” ucapnya dengan membulatkan mulut dan manggut-manggut seolah-olah mengerti. Segera kuraih dia dan kucium gemes pipinya. Ari anak yang cerewet, suka bercerita. Celotehnya tidak pernah berhenti. Pertanyaannya bejibun. Terkadang aku harus terdiam beberapa saat memikirkan jawaban yang tepat untuknya.
Ari dan Rago masih asyik menyaksikan acara kesayangan mereka. Setiap pagi, jika Ari di rumah, aku yang menjaganya sebab orangtua telah harus berangkat untuk mengajar. Rago juga tidak mau pergi ke sekolah. Alasannya adalah untuk menjaga Ari. Untung saja dia sekolah di tempat ibu mengajar dan guru-guru lain memaklumi keunikannya sehingga tidak begitu memberatkan jika Rago tidak masuk sekolah.
Aku mengelola sebuah café yang beroperasi mulai pukul sepuluh pagi. Tetapi aku tidak harus selalu di sana, sebab aku telah mempercayakan café tersebut pada salah seorang anggota yang telah kupercayai. Oleh karena itu, waktuku lebih leluasa. Tidak terikat.
Aku meninggalkan Ari dan Rago di depan televisi. Melanjutkan beberapa pekerjaan rumah yang terbengkalai. Keberadaan Ari sering membuat rumah seperti kapal pecah. Barang-barang tergeletak pasrah di mana-mana. Mainan mereka berserakan di ruang makan. Kaset cd yang dibelikan ibu untuk mereka terkadang sudah berada di dapur. Tempat tidur berantakan, sepreinya sudah tidak melekat di kasur, bantal-bantal bergulingan di lantai, selimut dibawa berarak.
Aku sering mengelus dada menyabarkan diri. Sabar Dea… sabar. Kumulai dengan membersihkan rumah, merapikan seluruh kamar dan meletakkan barang-barang pada tempatnya semula. Sesekali kudengar teriakan kecil Ari jika dia merasa senang atau jeritan Rago saat melihat tokoh kartun kesayangannya terkena musibah.
Aku berdendang kecil agar pekerjaan terasa ringan. Tiba-tiba telah muncul si Ari kecil di belakangku.
“Bou…” Ari memanggilku dengan suara mungilnya. Aku terperanjat. Hampir saja aku terjatuh dan menimpanya yang berada tepat di belakangku.
“Astaghfirullah…” ucapku dan segera jongkok menyamai tinggi badanku dengannya. Dia tertawa melihatku yang hendak terjatuh.
“Ada apa sayang?”
“Aku lapa Bou, mau maka.” katanya dengan nada bicara yang belum pas untuk minta makan.
“Oh, Ari mau makan. Ya sudah, ayok kita ambil nasinya. Pakai apa?”
“Pate nasi puti, pate ayam dore, pate tecap” ucapnya menyebutkan nasi putih, ayam goreng dan kecap manis.
“Pakai sayur dan kuah juga kan?” tanyaku.
“Iya. Pate sayu, pate tuah.”
Celoteh-celotehnya yang seperti itu membuatku sering tidak tahan ingin menjawilnya. Kucium gemas pipinya sampai aku puas. Dia pun tidak pernah mau berlama-lama kucium kalau tidak kupaksa.
“Uda sudah makan?” teriakku pada Rago.
“Belum.”
“Mau makan sekarang?”
“Iya.”
Kuambilkan juga nasi Rago. Mereka berdua sering berlomba-lomba. Jika satu makan, yang lain juga akan minta makan. Karena itu aku menanyakannya juga, takut kalau nanti dia mengganggu keponakannya yang sedang makan. Tetapi sebenarnya, Ari yang lebih sering mengganggu Rago, walaupun badannya lebih kecil dan usianya lebih muda. Kubiarkan mereka makan berdua. Jika tidak banyak orang di rumah, mereka akan sangat akur. Juga akur dalam membuat rumah berantakan.
Aku kembali konsentrasi pada pekerjaanku. Kali ini, aku menyetrika pakaian yang telah membukit. Hujan beberapa hari lalu membuat pakaian banyak yang menumpuk. Melihatnya saja, aku telah lelah. Namun jika terus kubiarkan, jumlah itu tidak akan bisa berkurang, yang pasti bertambah jumlahnya.
Aku berada di ruangan yang berbeda dengan mereka, tetapi aku selalu berusaha mengawasi tingkah mereka. Hampir dua jam aku berdiri menyetrika pakaian-pakaian itu. Pinggangku terasa mau patah. Aku tersadar, sedari tadi aku tidak mendengar celotehan Ari atau suara Rago yang sedang berimajinasi melakukan adegan dari tayanagn yang dia lihat. Rumah sunyi senyap. Aku melongok, televisi masih menyala. Tetapi kedua bocah itu, tidak terlihat di sana. Kemana mereka? Fikirku. Aku berjalan ke teras rumah. Terkadang mereka berada di teras sedang bermain tanah atau bermain bola. Tetapi tidak kutemukan. Kufikir mereka pergi keluar untuk jajan atau bermain di tempat playstation yang ada di gang depan rumah. Pencarianku nihil. Mereka tidak ada. Aku mulai khawatir. Kucoba telusuri lagi ke dalam rumah. Aku masih di halaman depan ketika aku mendengar suara kecil yang tertawa.
Aku lega, ternyata mereka ada di dalam rumah. Tadi aku lupa memeriksa ke dalam kamar. Dengan hati-hati aku menghampiri kamar sumber suara mereka. Kudorong sedikit pintu agar ada celah untuk melihat ke dalam. Telah beterbangan di dalam kamar benda ringan berwarna putih. Apa yang mereka lakukan di dalam?
Kubuka lebar-lebar daun pintu. Mereka tidak menyadari kedatanganku. “Apa yang sedang kalian lakukan?” tanyaku menahan geram ketika kulihat lantai kamar telah penuh dengan bedak, isi bantal telah terurai. Ari berlari, berputar-putar dalam lingkaran yang telah penuh dengan taburan bedak. Sesekali dia tersungkur. Sementara Rago, mengambil kapas dari perut bantal dan meniupnya. Ketika melihat kapas beterbangan di udara, Ari tertawa-tawa dan berusaha menggapai kapas tersebut. 
Apa yang sedang kalian lakukan” tanyaku lagi ketika tidak seorang pun dari mereka menyahutku. Ari agak terperanjat mendengar suaraku. Namun kemudian, datang segera berlari ke arahku dan menarikku ke dalam.
“Ada salju Bou.” jawab Ari girang. “Liat Bou, salju na tuyun.” sembari memeragakan meniup kapas ke udara. Kapas yang dihembuskannya jatuh ke lantai rumah. Matanya berbinar-binar melihat pertunjukan itu.
“Iya kak. Salju itu seperti ini kan?” kata Rago.
“Iya…. Iya…” sepelti ini kan Bou...” Ari terus mengulangi meniup kapas ke udara.
Mataku sebenarnya telah mempelototi mereka. Aku telah lelah. Tetapi ruangan ini masih saja berantakan karena ulah dua bocah yang penuh dengan imaji ini. Namun, aku segera tersadar. Apalah artinya kemarahanku dibandingkan kesenangan mereka atau sakit hati akibat kemarahan itu?
Perlahan kukembangkan senyum yang tadi terenggut dari wajahku.
“Hmm, jadi ini salju?”
"Iya Bou. Salju. Telbang. Puti.” jelasnya masih dengan binar yang sama.
Aku ikuti mereka menerbangkan kapas-kapas itu ke udara. Ari berjingkrak-jingkrak kegirangan mengambil “salju” yang turun, turun di rumah kami….

Senin, 09 Juli 2012

Menggenggam Bahagia


 Kehidupan ini tidak selalu berjalan seperti apa yang kita inginkan. Ada kendala-kendala yang harus dihadapi sebelum mencapai tujuan yang ingin kita raih. Kegagalan adalah suatu hal yang mutlak kita rasakan jika ingin mencapai keberhasilan yang kita inginkan. Tidak semua orang akan mencapai puncak keberhasilan. Banyak yang tidak tahan menanggung segala kesakitan. 
Banyak yang jatuh dan menyerah tanpa pernah berusaha untuk kembali bangkit. Hanya sedikit yang akan memenangkan ujian kegagalan di dunia ini. Dan mereka itulah para pemenang sejati. 
Bahagia. Semua orang pasti mendambakan kebahagiaan. Bahagia setiap orang tidak bisa disamakan. Namun bisa kita lihat raut wajah yang tidak begitu jauh berbeda berkenaan dengan bahagia. Hati yang damai ditunjukkan dengan senyum yang merekah yang tiada padam. Begitu kiranya pertanda kebahagiaan yang dapat kita lihat dari wajah-wajah yang kita temui. 
Pada hakikatnya, semua aktivitas manusia di dunia ini adalah dalam rangka mengejar kebahagiaan. Itu juga yang sedang kulakukan hari ini. Demi kebahagiaan yang kuyakini akan kudapatkan, aku berada di sini. Merajut mimpi dan membuat perencanaan untuk masa depan. Aku memilih profesi sebagai wiraswasta seperti ayahku. Aku yakin, dengan profesi itu akan membawaku menuju bahagia yang kucari. Inilah ceritaku… 
Namaku Sazali. Pekerjaan mahasiswa. Sumber donasi dari orangtua. Bertempat tinggal di ibukota provinsi sumatera utara. Setiap hari aku ke kampus mengendarai si black pemberian ayah. Aku memakai kacamata tapi tidak cupu. Aku termasuk kategori mahasiswa cerdas dan disenangi oleh dosen-dosen yang pernah masuk ke kelasku. Aku juga merupakan kategori pria ganteng yang mempesona wanita. Tapi semua itu belum memberi bahagia yang kucari. Karena aku belum tahu jati diriku. Jati diri yang mengukuhkan keberadaanku di bumi Tuhan ini. Aku belum tahu akan jadi apa kelak di masa depan. Meskipun aku seorang mahasiswa, tapi aku masih khawatir dengan masa depan yang membentang. Telah terlalu banyak sarjana di negeri ini yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak menghasilkan sedangkan usia mereka masih sangat produktif. Ijazah yang diperoleh dengan susah payah, ilmu yang telah dipelajari dalam tahun-tahun selama perkuliahaan, banyak yang terbuang ke dalam tong sampah perusahaan-perusahaan yang tidak membutuhkan skill mereka. Stress dan tidak percaya diri. Itu yang akhirnya banyak kutemui dari mereka yang tidak memiliki pekerjaan. 
Aku sungguh sangat tidak ingin menjadi bagian dari mereka. Lapangan pekerjaan yang tidak lagi memadai. Banyaknya angka pengangguran. Semua itu membuatku berfikir, aku harus menciptakan lapangan pekerjaan. Hanya enterpreanurship jawaban dari pertanyaan itu. Namun pertanyaan besar berikutnya memenuhi otakku, usaha apa yang akan buka? Kemudian, jadi pening sendiri…. 
“Kalian ini bodoh. Tahu nya hanya menghabiskan uang saja. Percuma di sekolahkan tinggi-tinggi. Percuma dikuliahkan. Kalau hanya meminta dan menghabiskan saja yang bisa kalian lakukan. Apa yang telah kalian hasilkan? Kalau bukan merengek-rengek minta ini itu, kalian hanya akan kelaparan saja di luar sana” nada kemarahan ayah masih terus terngiang di kepalaku. Ini bukan perkara benar salahnya. Juga bukan karena kemarahan itu ditujukan buat siapa. Hanya perkataan yang dikeluarkan saat marah itu yang tidak bisa kuterima begitu saja. Tapi, siapa yang bisa menyalahkan orang yang marah. Bukankah apa saja bisa terucap?
 “Kalian hanya tahu menghabiskan uang saja”. Oh, God. Begitu dalam menusuk hatiku ucapan ayah itu. Tapi dia memang tidak salah. Ayahku, ayah pemarahku. Hidup yang dijalaninya sedari kecil telah begitu keras. Dia harus mencari nafkah untuk keluarganya karena kakek terlalu cepat dipanggil Tuhan. Sementara keluarga besarnya butuh makan. Tanggungjawab itu dipikul olehnya, anak tertua dalam silsilah keluarganya. Dia masih ingin terus sekolah, tetapi keadaan memaksanya untuk berhenti di tengah jalan. Beratnya kehidupan ayahku semasa kecil, menjadikan wataknya begitu keras. Dia tidak bisa lagi mengekspresikan cinta dan kasih sayangnya dengan leluasa. Semua kerja serabutan telah ayah lakukan. Mengasong.
 Ayah pernah melakukannya. Menjadi kuli panggul. Ayah juga pernah. Satu hal yang dipegang erat-erat oleh ayah adalah kejujuran. Saat menjadi kuli panggul, ayah tidak pernah meminta imbalan. Dia membantu mereka yang kesusahan. Teringat akan kisah Abdurrahman Bin Auf ketika hijrah ke Madinah. Sesampai di Madinah, Nabi telah mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar. Persaudaraan yang diikat oleh tauhid yang sama. Kaum anshar dengan ikhlas membantu kaum muhajirin yang kekurangan. Demikian halnya dengan Abdurrahman bin Auf. Kaum Anshar yang menjadi saudaranya juga tidak segan memberi bantuan yang dibutuhkannya. Makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, bahkan istri juga rela mereka berikan untuk saudara yang baru saja diikat oleh Nabi tersebut. Tetapi Abdurrahman menolak semua itu. Dia sangat berterima kasih dengan semua perlakuan itu. Kemudian dia meminta kepada saudaranya untuk menunjukkan jalan menuju pasar. Saudaranya heran “Apa yang hendak kau lakukan di pasar duhai “Abdurrahman? Bukankah kebutuhanmu telah tercukupi?”. “Aku berbahagia mendapat perlakuan seperti ini. namun alangkah lebih berbahagianya aku jika aku tidak menjadi beban buat saudaraku?” jawab Abdurrahman. Akhirnya Abdurrahman berniaga di Pasar Ukaz. Hingga beberapa tahun, dia pun menjadi orang terkaya di Madinah berkat perniagaannya yang berkembang pesat. Demikian juga dengan ayah. Dia mendatangi pasar. Awalnya dia melihat peluang. Dia tidak mempunyai modal untuk berniaga. Dia juga tidak mau meminta-minta. Maka jalan pertama yang dia lakukan adalah dengan mengenali semua pelaku pasar. Cara yang dia lakukan adalah membantu mengangkat barang-barang para pedagang yang baru sampai tanpa mengharapkan imbalan. Dia melakukan itu kepada semua para pedagang sehingga tidak begitu lama, semua orang yang berada di pasar tersebut mengenali ayah. Pada suatu ketika, saat ayah membantu menurunkan barang seorang perempuan tua yang telah biasa ayah bantu, si nenek berujar “Ucok, kenapa kau tidak pernah mau menerima imbalan Nak? Sebenarnya apa pekerjaanmu?” Ayah menjawab “Aku tidak punya pekerjaan Nek. Daripada aku tidak punya kegiatan, lebih baik aku menolong orang yang kesusahan.” “Kenapa kamu tidak berdagang saja Nak?” tanya nenek itu lagi. “Aku tidak punya modal Nek. Aku cuma anak seorang petani miskin” ujar ayah. “Oh. Tapi kamu mau berdagang?” tanya nenek itu lagi. “Sangat mau Nek.” Sahut ayah bersungguh-sungguh. “Ok. Kalau begitu, kau ambil dagangan Nenek ini. Tidak perlu kau bayar di awalnya. Kau ambil seperlumu, lalu kau jual. Nenek kasih tahu modal dari barang-barang yang kau ambil. Terserah kau mau jual berapa. Itu hakmu. Nah, nanti berapa laku, kau kasih sama nenek modalnya saja. Untung dari penjualan untukmu saja semuanya. Bagaimana? Kau mau?” tawar si nenek. Dengan cepat ayah menyahut “Mau Nek. Aku mau. Apa sekarang aku sudah bisa mengambil barang nenek ini?” tanya ayah bersemangat. “Oh. Boleh. Sebentar ya, nenek buat fakturnya dulu.” Sejak hari itu, ayah mulai berdagang pakaian. Awalnya dia menjajakan dagangannya kepada setiap orang yang lewat. Hari pertama, semua dagangannya habis. Ayah senang, si nenek juga senang. Sampai beberapa hari, barang dagangan ayah selalu laris manis. Dari untung yang didapatkannya, akhirnya ayah mempunyai modal. Dia tidak lagi meminta barang pada nenek itu. Tetapi dia membayarnya terlebih dahulu. Tentu saja si nenek juga semakin senang. Ayah bekerja sungguh-sungguh dan cekatan. Prinsip yang dia pegang itu, tidak pernnah dia tinggalkan. Karena dari kejujurannya, dia memperoleh kesempatan tersebut. Kerja kerasnya telah membuahkan hasil. Kini, tokonya telah ada beberapa buah. Tanahnya juga cukup banyak. Ayah telah menjadi orang kaya di usianya yang muda. Setelah merasa usianya cukup untuk menikah, dia meminang ibu yang kini menjadi istrinya yang melahirkan anak-anak yang manis dan lucu. Kini, kami anak-anaknya, bisa menikmati semua itu. Kami tidak dimanjakannya. Tetapi kami juga tidak dipaksanya untuk mngikuti usahanya. Tetapi kami memang diharuskan untuk ikut mengelola toko yang ayah pegang. Dari hasil toko itu, kebutuhan kami terpenuhi. Biaya sekolah dan kuliah kami juga dari hasil toko. Ayah yang semakin menua dalam perjalanan hidup, membutuhkan bantuan dari kami. Tetapi, kami sering merasa enggan melakukan pekerjaan yang ayah minta. Dia tidak meminta banyak. Dia hanya minta kami membantunya saja. Mengambil barang ke lantai atas. Atau membantu menyusun barang. Atau membantu menjemput barang yang baru datang. Atau membantu menanyakan pelanggan. Ayah tidak memaksa kami untuk berfikir. Dia hanya mmeinta tenaga kami. Tetapi rasa enggan dan malas yang selalu menghantui kami. Karena itu ayah menjadi marah. Ayah yang pemarah menjadi semakin pemarah dengan tingkah kami. Sehingga kata-kata makian itu berlontaran dari mulut ayah yang terasa menyakitkan tetapi tidak bisa kupungkiri kebenarannya. “Aku harus bisa mencari uang, menghidupi diriku sendiri, agar ayah tidak mengataiku lagi. Sakit sekali rasanya, tetapi apa daya, memang itulah kenyataannya. Aku harus buktikan pada ayah bahwa aku bukan anak yang manja. Aku juga bisa, tanpa harus mendapat umpatan-umpatan dari ayah.” Aku berfikir, mungkin ada seseorang yang bisa membantuku. Tetapi siapa? Hmm, mungkin yang harus kulakukan adalah mencari informasi tentang usaha apa yang aku bisa juga tentang siapa yang bisa membantuku. “Kurasa itu yang harus kulakukan sekarang ini” putusku kemudian. ### “Hei wak, dari tadi kuperhatikan. Melamun saja pekerjaan uwak. Apa yang menggaunggu fikiranmu Wak?’ Vai, menepuk pundakku membuatku terkejut. Uwak adalah panggilan akrab masyarakat Medan, dari golongan manapun, termasuk kalangan mahasiswa seperti kami. Awalnya, aku juga heran ketika mendengar seorang teman memanggil “uwak” pada teman sesama mahasiswa. Seperti “uwak-uwak” yang berjualan di pajak pagi saja. Fikirku. “Hmm. Ngangetin aja uwak ini. Aku sedang berfikir Wak.” “Punya fikiran juga kau Wak.” candanya. Aku tertawa mendengar selorohnya itu. “Iya lah Wak. Kalau tak berotak, masa kan aku bisa kuliah di sini. Uwak ini bisa saja.” “Awak becanda ya Wak. Jangan dimasukin ke hati.” “Aku tahu.” Terdiam sejenak. “Uwak ingat mata kuliah enterpreanurship dari pak Umar?” “Ya. ingat. Kenapa?” “Aku kefikiran dengan ucapan bapak itu. Kita sebagai mahasiswa harusnya tidak berpangku tangan. Sudah sewajarnya kita juga mempunyai penghasilan. Jangan kita bersembunyi dengan alasan masih dalam pembelajaran seperti sekarang ini yang membuat kita tidak berfikir kreatif untuk menghasilkan uang. Usia kita sudah masuk kategori produktif untuk menghidupi diri sendiri kan?” “Iya. Betul banget tuh Wak. Jadi, maksud uwak ingin membuka usaha? Belajar jadi enterpreanur?” “Iya, Wak. Tapi awak masih bingung mau membuka usaha apa Wak? Ada ide?” “Apa ya?” “Eh, Uwak kan sudah lama jadi pelaku enterpreanur. Atau uwak bisa andil memberikan modal?” tanyaku bersemangat. “Haha. Macam pengusaha besar saja awak Uwak buat.” dia merendah. “Aku serius Wak. Pakai sistem bagi hasil kita nanti. Bagaimana?” Dia tampak berfikir. “Aku fikirkan dulu ya Wak. Kalau ada yang bisa kubagi, aku segera kasih tahu. Uwak perlu berapa?” “Tak perlu banyak-banyak Wak. Yang terpenting, aku bisa segera memulai usaha dan menikmati hasil keringatku.” jawabku, penuh harap. “Jangan gitu kali lah menatapnya Wak. Jadi segan awak. Oke. Segera kukabari kalau sudah ada. Masuk kelas yuk.” ajaknya. Kami segera menuju kelas yang telah mulai ramai. Aku berharap ini adalah angin segar. Dia adalah jawaban atas pertanyaan siapa yang kusimpan beberapa hari lalu.### Maka, di sinilah aku sekarang, di depan sebuah ruko di tepi jalan dengan gerobak dorong di tengah malam yang tinggal dilalui satu, dua kendaraan. Menunggui daganganku ditemani oleh abang sepupu yang menjadi mitra kerjaku. Vai akhirnya meminjamkanku modal dengan bagi hasil 60 %: 40 % atas keuntungan yang diperoleh tiap bulannya. Aku putuskan untuk membuka usaha minuman yang menyediakan TST atau teh susu telur, bandrek, atau minuman-minuman hangat lainnya yang beroperasi sejak pukul lima sore. Benar-benar pembagian shift yang baik. Tidak mengganggu kuliahku. Aku tetap menomorsatukan kuliah meskipun aku berniat untuk menghidupi diriku sendiri. Aku mempelajari cara membuat minuman ini dari seorang uwak yang dagangannya begitu laris di daerah Halat. Uwak yang kumaksud, bukan panggilan akrab dengan teman sebaya, tetapi adalah panggilan untuk saudara laki-laki yang lebih tua dari ayah. Setiap kali aku datang ke sana, tempat tersebut selalu ramai oleh pengunjung. Memang buatanku tidak seenak buatan uwak. Masih amatir. Tetapi aku yakin, seiring berjalannya waktu, aku akan terbiasa dan menemukan cara yang tepat untuk membuat minuman yang baik. Seminggu usaha ini berjalan, aku masih harus banyak-banyak bersabar. Terkadang, sampai hampir pukul dua dini hari ketika nyamuk-nyamuk telah dengan cekatan mencari rezeki dari mereka yang terlena, setengah terkantuk-kantuk aku masih menjaga daganganku yang belum kunjung dilirik pembeli. Sampai aku memutuskan untuk menutupnya hari itu, hanya tiga gelas TST yang berhasil terjual. Aku tetap berusaha untuk mengucap syukur. Usaha yang baru dirintis tidak akan segera menuai hasil. Aku masih butuh waktu. Fikirku. Memasuki minggu kedua, orang-orang mulai tahu bahwa di tempat aku membuka TST ini, terdapat warung TST yang cukup enak meskipun masih tergolong baru. Pengunjung yang datang ke warungku berasal dari berbagai tipe yang sangat-sangat beraneka ragam. Pernah pada pukul 12 tengah malam, di saat aku berjaga sendirian, tanpa bang Ardi yang berhalangan hadir, datang seorang pria tambun berwajah Indo menaiki Avanza biru ditemani beberapa perempuan berkisar umur 19 tahun memesan TST buatanku. Dari perbincangan mereka, aku bisa menebak pekerjaan yang biasa mereka lakukan. Kelakar-kelakar yang terkadang tidak lazim untuk didengar. Beberapa kali aku beristighfar dalam hati. Sekilas kuperhatikan, pria tambun itu sangat jelek, perutnya buncit seperti wanita yang tengah hamil sembilan bulan, tangannya ramah dan suka parkir di atas paha para perempuan yang terbuka itu, bergantian. Kuperkirakan, perempuan-perempuan centil itu hanya menyukai uang pria tambun yang kelihatannya punya cabang ATM sendiri. Aku menggeleng melihat tingkah mereka. Apa mereka tidak merasa risih? “Abang, masih lama pesanannya datang?” Aku dikejutkan oleh suara desah perempuan setengah menggoda yang tiba-tiba saja berbisik di telingaku membuat bulu kudukku berdiri, “Astaghfirullah!” jeritku tertahan ketika salah seorang dari perempuan centil itu telah berdiri begitu dekat di sampingku sehingga wajahnya hampir menyentuh pipiku. Segera aku memalingkan muka. Kudengar pria bertubuh tambun dan teman-teman perempuan itu tertawa cekikikan. “Sudah Ve. Jangan mengganggu abang TST. Tidak kau lihat, dia begitu gemetaran dengan ulah usilmu.” tegur seorang temannya dengan kedipan mata ke arahku. Aku istighfar berkali-kali karena tingkah mereka. Perempuan yang tadi mendekatiku telah kembali ke tempatnya semula. “Masih perjaka murni. Bukan imitasi.” meskipun dia berbisik pada teman di sebelahnya, aku bisa mendengar ucapan itu. “Hmm, pasti lezat.” bisik yang satunya lagi. Lalu mereka tertawa cekikikan, lagi. Aku berusaha keras untuk segera menyelesaikan pesanan mereka. Aku sudah tidak tahan mendengar guyonan-guyonan nakal para perempuan itu. Aku nggak kuaaaat…. Kuserahkan bungkusan yang berisi pesanan TST yang mereka minta. Setelah transaksi selesai, mereka pun beranjak dari warungku. “Sampai jumpa abang ganteng.” perempuan yang tadi dipanggil Ve itu, melambaikan tangannya dengan genit ke arahku. Segera setelah mereka pergi, aku menutup warungku tanpa menunggu jarum jam berada di angka dua, jadwal warungku selesai beroperasi setiap harinya. Aku mendorong gerobak ke tempat penyimpanan yang disediakan oleh pemilik ruko yang kusewa teras rukonya untuk berdagang TST ini. Awalnya, aku tidak perlu susah-susah mendorong gerobak TST ku ke belakang ruko, sebab pemiliknya berbaik hati membiarkan gerobak TST ku tetap berada di depan rukonya pada saat dia membuka usahanya di pagi hari. Namun entah mengapa, setelah bilangan hari ketiga, aku tidak lagi dibolehkan menitip gerobak TST ku di depan ruko yang dia miliki. Alasan yang dia kemukakan adalah, menghalangi orang untuk masuk ke dalam ruko miliknya. Aku menghela nafas. Aku tahu dia keberatan dengan keberadaan benda jelek milikku yang parkir di depan tokonya itu. Aku mengurut dada melihat betapa orang-orang terkadang begitu senang melihat kesengsaraan orang lain. Karena alasan itulah, di tengah malam yang senyap ini, aku seorang diri mendorong gerobakku ke belakang ruko yang harus melewati jalan sedikit menanjak yang membuatku sedikit kesulitan untuk melakukannya sebab beberapa kali, roda gerobak tergelincir ke bawah dan aku harus kuat menahan beban yang tidak ringan itu agar aku tidak ikut tersungkur. Dengan peluh yang hampir membasahi seluruh tubuhku, akhirnya bisa kukendalikan gerobak tersebut ke tempat penyimpanannya. Perjuangan. Memang tidak selalu mudah. Dulu sekali, sebelum aku menjalani profesi ini, aku sangat iba melihat mereka yang harus mendorong gerobaknya keliling kota demi sesuap nasi. Dan hari ini, aku iba, melihat diriku sendiri….### Telah tiga hari bang Ardi tidak masuk kerja, dan selama itu juga aku berjaga sendirian. Walaupun dia sepupuku, seharusnya dia profesional dalam pekerjaan. Bukan berarti dia dengan seenaknya tidak masuk kerja. Apalagi alasannya dibuat-buat. Hanya sakit kepala biasa. Dia minta libur. Sungguh tidak masuk akal. Atau mungkin ini sebuah isyarat pengunduran diri? Tidak ingin denganku lagi? Ahh. Aku menepis kemungkinan buruk itu. Tidak baik berprasangka yang tidak-tidak. Aku tunggu saja apakah sore ini dia datang atau tidak. Jika tidak, maka aku yang harus bertindak. Pukul lima sore. Bang Ardi telah muncul di warung, lebih cepat dari hari-hari sebelumnya. “Bagaimana kabarnya Bang? Sudah sehat?” tanyaku berbasa-basi. “Masih belum sehat sebenarnya. Tapi abang merasa tidak enak hati terus-terusan tidak masuk.” Entah benar, entah tidak kalimat itu keluar dari bibirnya. “Kalau masih kurang fit, tak perlu la dipaksakan kali Bang. Firman juga nggak akan maksa abang kok.” jawabku, mencoba diplomatis. “Ng… Abang mau nanya sesuatu, boleh?” “Be pleasure, plis.” sedikit becanda kujawab pertanyaannya. Kelihatannya dia sedikit tegang. “Ng… abang sebenarnya diterima kerja di pabrik es dekat rumah abang. Itu sebabnya tiga hari ini abang tidak datang. Berat sekali abang rasa harus pulang tengah malam setiap hari. Mengingat kakakmu sendirian di rumah dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Belum lagi kita lebih sering duduk mengobrol daripada melayani pembeli. Makanya abang memutuskan menerima pekerjaan di pabrik es tersebut. Apa kamu keberatan?” Huft. Menyebalkan. Firasatku memang benar. Tapi aku tidak boleh terlihat sangat membutuhkannya. Bukankah tiga hari ini aku telah terbiasa sendiri? Mungkin itu adalah pembelajaran buatku. Tidak baik mempekerjakan saudara sendiri. “Kalau Firman sih, nggak masalah Bang. Kalau itu memang yang terbaik buat abang, silahkan.” aku mencoba tersenyum. Mungkin senyumku kali ini terlihat begitu jelek. Senyum tanpa keikhlasan. “Kamu tidak marah kan?” dia memastikan. “Tenang aja Bang. Beres la itu.” Maka keesokan harinya, jadilah aku menjomblo, single parents untuk usaha baruku ini. Jika terjadi apa-apa padaku, maka usaha ini tidak akan berjalan sebagimana mestinya. Kukira orang yang membutuhkan pekerjaan akan mau mengerjakan pekerjaan apa saja asalkan menghasilkan dan tetap bisa memenuhi kebutuhan perut yang sejengkal itu. Ternyata dugaanku tidak sepenuhnya benar. Selalu ada pengecualian untuk hal-hal tertentu, dan kejadian yang menimpaku termasuk dalam pengecualian itu. ### Jalan sebulan warung TST ku. Aku bertemu dengan Vai sang investor. Seperti yang kujanjikan, setiap bulannya, aku akan menemuinya menyerahkan bagi hasil yang kuperoleh. “Bagaimana usahamu Wak. Lancar?” tanya Vai padaku. “Alhamdulillah Wak. Makanya aku datang nih Wak. Mau nyetor.” jawabku dengan wajah sumringah. Dia tertawa menanggapi jawabanku. Kami masih berbincang beberapa lama walaupun urusan dengannya telah selesai. “Wak, sebenarnya aku ingin menarik saham yang kuberi kemarin.” “Lho, kok tiba-tiba begitu?” “Aku tidak memintamu menyerahkannya hari ini Wak. Aku hanya menginformasikan agar kau tidak terlalu terkejut.” Tidak terkejut bagaimana? Aku sangat terkejut. Saking terkejutnya, aku merasa seperti dialiri sengatan listrik yang terkena arus pendek. “Ohh.” jawabku pendek. Aku lunglai. Tak lagi berdaya. “Seorang teman memintaku bekerja sama di warung makan miliknya. Aku hanya menyediakan minuman berupa jus. Prospeknya kulihat lebih bagus. Jangan marah ya Wak?” Ini salahku. Mengapa tidak membuat surat perjanjian kontrak mengenai hal ini? Sama dengan masalah bang Ardi sepupuku. Aku dicampakkan begitu saja. Bagai sampah tak berguna. Belum habis sakit hati karena perlakuan bang Ardi, aku harus menelan sakit hati lainnya yang lebih parah. Pernyataan memutuskan hubungan mitra kerja dengan sang investor. Satu bulan penuh, tidak kurang. Usaha pertamaku berakhir. Tragis.### Enterpreanur University Kukerjap-kerjapkan mata saat melihat tulisan di majalah dinding kampus tersebut. Apa aku tidak salah? Ada sekolah pengusaha? Seperti apa pula modelnya? Punya ruangan semegah almamaterku ini kah dengan fakultas yang beraneka ragam dan kelas-kelas yang berjumlah puluhan? Dosen-dosen yang mengampu mata kuliah dengan modul-modul yang wajib dimiliki? Seperti itukah bentuknya? “Makanya ikutan Dek, biar tahu gimana sekolahnya. Biar tahu dosen-dosennya seperti apa? Sebenarnya sih mereka lebih suka dipanggil tutor. Lebih akrab.” ujar salah seorang seniorku yang menawarkanku untuk mengikuti enterpreanur university itu. “Berapa uang pendaftarannyanya? Berapa harus membayar uang SPP per tahun nya? Dan berapa uang kuliahnya?’ tanyaku ingin tahu. Bagaimanapun, aku harus mempertimbangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dia hanya tertawa menjawab pertanyaanku. “Uang pendaftarannya nanti saja difikirkan. Untuk tahu seperti apa EU (Enterpreanur University, yang akhirnya kutahu singkatannya adalah EU) ini, kita ikuti saja dulu seminarnya. Nggak mahal kok. Cuma 200ribu.” “Apa? 200ribu Bang?” mataku membelalak. Aku terkejut dengan sebutan uang sejumlah itu. 200ribu tidak mahal? Aku yang sudah sering mengikuti seminar di kampus, tiket yang seharga 50ribu saja sudah begitu mahal buatku yang masih berstatus mahasiswa, meskipun tampang keren, tapi nasib tidak sekeren tampangku. Aku menggeleng. “Lain kali saja la Bang. Aku lagi butuh duit sekarang. Bukan ingin mengeluarkan duit.” “Ah, sayang sekali. Padahal kalau kamu ikut dan melihat dari dekat acaranya, kamu akan mengerti, jumlah yang kusebutkan tadi tidak mahal dibanding ilmu yang akan kita dapat dari acara tersebut.” “Ah, nggak la Bang. Lain kali saja.” aku masih menolak permintaannya. Gila?! 200 ribu untuk harga tiket doang? Mendingan kubelikan makanan, perut kenyang, aku pun senang. “Ok. Kalau kamu tidak mau. Ya sudah, Abang pinjamkan saja kaset ini untukmu. Tapi kamu nggak boleh ngasih sama orang lain ya. Khusus untuk kamu Abang kasih. Ok.” Setengah tidak berminat kuterima kaset yang dia tawarkan. Hanya menonton sebuah video, tidak ada salahnya. Anggap saja menonton spiderman. Hmm, aku suka menonton film-film action. Maka tak jarang, aku suka menonton film yang sama untuk yang kesekian kalinya. “Hati-hati terjangkit virus “gila” nya sang pembicara.” bisik seniorku tersebut dengan nada menakutkan. “Virus gila? Apa pula itu?” What ever!? Dikasih gratis, tidak ada salahnya dilihat. Aku menimang-nimang kaset yang berada dalam genggamanku dan memperhatikannya. Setelah membaca sekilas kata-kata motivasi yang ada dalam salah satu side kepingan kaset itu, aku mulai diliputi rasa penasaran. Siapa pria ini? Mengapa kata-katanya seperti bisa menghipnotisku hanya dari melihat sampul depan kaset ini saja? Rasa penasaran itu telah membawaku segera pulang ke rumah. Tak sabar ingin mengetahui isi kaset tersebut.### Salah satu kunci agar usaha anda tidak pernah mengalami kerugian adalah banyak-banyak bersedekah. Petuah yang disampaikan oleh narasumber yang kusaksikan dari video tersebut. Aku pernah mendengar hal ini sebelumnya. Tapi bukan dari seseorang yang mengaku pengusaha. Tapi dari ustadz-ustadz pengajian yang membahas tentang sedekah. Jika dia yang berprofesi sebagai pengusaha dan mengatakan hal itu, dia mungkin telah tergolong kategori pelaku. Melihat dia yang sepertinya bukan pemain baru dalam dunia usaha. Bagaimana jika masih mengalami kerugian? Tanya seorang audience. Itu karena sedekahnya masih kurang banyak. Perlu ditambah lagi jumlahnya, lebih banyak lagi, lebih banyak lagi. Subhanallah. Cara dia mengatakan bagaimana memulai usaha, bukanlah dari segi kemanusiaannya. Tapi dari segi kerohanian. Jarang pengusaha yang berfikiran seperti ini. Biasanya, bagi kami, kaum muslim, membayar zakat hanya lah 2,5 % yang wajib dikeluarkan. Bagaimana kalau jumlah tersebut ditambah menjadi 5 %? Tentu sah-sah saja. Dan hal ini, menurut hemat saya justru akan memudahkan segala urusan perniagaan kita. Hmm. Benar juga. Allah juga pernah berfirman tentang perniagaan yang tidak pernah merugi. Perniagaan dengan Allah. Bersedekah. Semua pendapat-pendapat pembicara pada video yang kusaksikan tadi, dapat dibenarkan oleh akal sehatku. Aku menjadi semakin tertarik mengenal pria itu. Siapa dia? “Hei Firman…” seniorku yang memberikan kaset yang semalam melambaikan tangan ke arahku. Aku berjanji bertemu dengannya di kampus hari ini untuk mengembalikan kaset yang dipinjamkannya semalam. Aku berjalan menuju tempat dia berdiri. “Ini kasetnya Bang. Bagus banget. Enterpreanur sejati.” pujiku. “Aku mulai khawatir kalau kau mulai terjangkit virus itu.” “Haha. Abang bisa saja. Dan kurasa, siapapun yang terjangkit virus yang ditularkan pembicara dalam kaset ini, tidak akan menyesal, bahkan berterimakasih padanya.” “Filosofis sekali. Bagaimana? Sekarang kau tertarik?” “Siapa sebenarnya pria itu Bang?” “Dia pendiri salah salah satu lembaga bimbingan belajar. Awalnya murid bimbingan belajarnya itu hanya berjumlah dua orang, tetapi sekarang telah berdiri puluhan cabang bimbel tersebut di seluruh tanah air. Kau tahu kenapa?” Aku menggeleng. “Mungkin dia tidak berhenti dan terus bertahan.” “Ya. dia juga melakukan cara-cara yang dianggap orang lain tidak lazim. Cara-cara itu yang akan dia jelaskan di kelas setelah seminar yang kemarin abang sebutkan.” “Hmm. Kalau tiket masuk untuk seminar saja segitu jumlahnya, bagaimana dengan pendaftaran untuk bisa memulai pembelajaran?” “Firman, kita kuliah di sini juga tidak gratis. Kita dengan suka rela mau membayar sejumlah biaya yang ditetapkan oleh universitas walaupun kita tidak tahu jaminan masa depan setelah lulus dari sini..” Aku berfikir, mencoba mencerna kalimatnya itu. Benar juga. “Itu namanya biaya belajar, biaya sekolah. Tidak ada yang gratis di dunia ini, selain udara yang kita hirup atau angin yang kita keluarkan.” candanya. “Ok. Besok-besok kalau masih ada seminar abang kabari aku ya.” “Gitu dong. Kalau mau jadi pengusaha, belajar cara-caranya dari pengusaha yang telah melakukannya dan telah berhasil dalam usahanya.” pesannya. Aku selalu berdoa, semoga apapun pilihan yang telah kutetapkan, aku tidak pernah menyesalinya, meskipun jauh berbeda dari harapanku. Aku hanya harus pandai mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpaku.### Berada dalam ruangan seminar yang berisi tentang bagaimana memulai membuka usaha yang baik, dalam lingkungan orang-orang yang mempunyai visi yang sama, membuat aura positif dalam ruangan tersebut menyengat seluruh hadirin. Aku juga bisa merasakan betapa semangatku meletup-letup tak terpadamkan, hingga mataku sulit terpejam, dan mulai membuka mata terhadap peluang-peluang yang mungkin bisa kuciptakan. Dan kabar baik itu, datang hari ini. pengumuman beasiswa, dan aku salah seorang yang memperoleh beasiswa tersebut. Tidak semua usaha yang kita mulai sekarang akan menjadi usaha kita untuk hari-hari selanjutnya. Belajar dan terus belajar. Jangan pernah berhenti. Jika jatuh, harus berusaha untuk bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi. Kita pernah menjadi anak kecil yang belajar berjalan, meskipun harus beberapa kali terjatuh, tetapi tidak kapok untuk bangkit dan mulai berjalan lagi. Bayangkan jika anak kecil itu tidak pernah bangkit, mungkin dunia ini hanya dipenuhi oleh orang-orang lumpuh. Apapun yang terjadi, jangan pernah menyerah. Bersedekah, berusaha, berdoa. Selamat berjuang. Selamat datang di dunia enterpreanur…. Aku mendaftarkan diriku menjadi salah seorang agen pulsa. Untuk saat ini, aku tidak mempunyai tempat, maka diriku lah yang kujadikan ajang promosi, toko berjalan, agar orang-orang tahu bahwa aku punya usaha pulsa baru dan mereka bisa menghubungiku jika hendak melakukan isi ulang pulsa. Aku mengalahkan semua ego yang dulu ada pada diriku. Mengalahkan semua perkataan tidak bisa yang dibisikkan dalam fikiranku. Aku harus berjuang. Berjuang, agar ayah melihat aku tidak selemah yang dia kenal selama ini.### Virus itu benar-benar menjangkitiku. Stadium akut. Sampai aku melupakan tujuan pertamaku berada di kota ini. Kuliah. Amanat orangtua yang harus kutunaikan. Juga cita-cita yang dulu kutanamkan dalam jiwaku, sebelum mengenal virus itu. Aku cinta mati, tergila-gila dengan pasangan baruku. Enterpreanur. Hingga suatu hari aku terhenyak. “Bagaimana kuliahmu, Nak?” Pertanyaan ibu tempo hari ditelpon. “Lancar-lancar saja Bu.” Aku tergeragap menjawabnya karena sesungguhnya prestasi kuliahku sedang kacau balau di tengah kegilaan yang baru kualami. Maaf Ibu, aku telah sedikit berbohong padamu. “Doa Ibu selalu menyertai langkahmu selama kau masih dalam koridor Nya. Bagaimana keuanganmu? Jika ada kekurangan, jangan segan-segan bilang ke ibu. Perkataan ayah tempo hari, tak perlu terlalu kau risaukan. Ayah hanya terlalu letih hari itu. Harus kau tahu, ayah sangat menyayangi kalian,” “Iya, Bu. Sekarang masih aman kok. Ibu nggak perlu khawatir.” Aku berbohong lagi. Keuanganku sebenarnya telah sangat menipis. Aku tidak lagi banyak memberitahu ibu kegiatan yang kujalani. Beberapa hari lalu, aku bersama lima orang teman lain di kampus pergi ke Rantau untuk survey tempat bimbel yang sedang kami ajukan proposal kerjasamanya. Perjalanan ke sana, memerlukan biaya. Aku mengeluarkan kocek lebih banyak sebab aku merasa bertanggung jawab atas perjalanan itu. Aku yang memberikan ide. Aku juga yang memilihkan tempat. Aku sebenarnya tidak ingin ibu risau. Aku tahu, dia hanya mengkhawatirkanku jika mungkin izin tidak kuperoleh darinya. Naluri ibu, sangat kuat, tidak pernah aku mencoba menyangkalnya. Seperti hari itu. alam sekitar seakan membisikinya bahwa kondisiku sedang tidak baik. Meskipun jawabanku kumaksudkan untuk menenangkannya, esok harinya, dia telah mentransfer sejumlah uang untukku. Jaga-jaga jika terdesak. Begitu disebutkannya. Ahh, ibu. Kau memang sangat mengerti keadaan anak-anakmu. Pantas saja surga berada di telapak kakimu. Aku berfikir ulang setelah menerima telpon ibu. Apa yang kucari? Aku memang ingin punya penghasilan sendiri, tapi aku juga tidak ingin mengecewakan ibu. Perempuan yang belum sekalipun mengecewakanku, bagaimana aku akan tega mengecewakannya karena ego. Ya, ini kusebut ego, sebab kuliahku telah berantakan. Aku sudah mulai tidak peduli. Aku hanya ingin mengurus pendirian bimbel itu dengan serius, dan melupakan keseriusanku untuk menuntut ilmu seperti amanat ibu. Ini tidak akan kubiarkan terjadi. ### Semangat dari rekanku mulai pudar saat beberapa kali mengajukan proposal kerja sama dan ditolak. Pendirian bimbel itu mulai mengambang di awang-awang, sementara aku juga telah terlanjur mengorbankan kuliahku. “Jika memang kalian tidak lagi berminat, kita lupakan saja masalah bimbel itu. Tapi perlu kalian camkan, aku tetap akan bergerak walau tanpa bimbel, walau tanpa kalian.” Aku muntab. Aku telah berkali-kali mengajak mereka untuk semangat kembali. Untuk menyusun kembali kekuatan, tetapi alasan mereka terlalu banyak. Dan setelah hari itu, aku tahu mereka akan mundur dengan teratur. Tim payah. Aku menyesali keteledoran sikapku yang menganggap satu hal sangat penting dan mengabaikan hal lain. Tetapi benarlah, penyesalan memang selalu datang di akhir. Terkadang kufikir ini menyebalkan. Namun, terkadang aku juga berfikir, ini mungkin cara Tuhan menunjukkan jalan agar aku belajar dari kesalahan. Akhirnya proyek bimbel itu, terlupakan. Aku menata kembali rencana masa depanku. Sedang berfikir demikian, kudengar suara gaduh dari ruang tengah rumah kakak sepupu tempatku menumpang tinggal selama masa kuliah. Aku keluar kamar melihat sumber kegaduhan. “Silahkan masuk Paman.” kak Putri mengajak seseorang masuk ke dalam rumah. Seorang pria bertubuh pendek berusia sekitar lima puluh tahun masuk bersama seorang perempuan yang usianya hanya bertaut sekitar 2 tahun dari pria di sampingnya. Dia pamanku, adik dari ayahku, yang datang bersama istrinya. “Apa kabar Paman?” aku mencium pergelangan tangannya, memberi hormat pada yang lebih tua, juga pada istrinya. “Alhamdulillah, baik.” Kak Putri datang membawakan minuman, “Silahkan diminum, seadanya saja Paman. Maklum, bulan tua.” Kak Putri mempersilakan tamunya menikmati hidangan. “Ada apa gerangan datang ke gubuk kecil kami ini Paman?” tanya Bang Jo, suami Kak Putri, setelah cukup berbasa-basi. “Paman mau mengurus bisnis baru di sini. Kemarin ikut EU juga. Paman lihat prospeknya cukup bagus.” Aku yang tidak terlalu memperhatikan percakapan para orang tua segera berminat mendengar kata bisnis. Siapa tahu paman bisa kuajak bekerja sama. “Bisnis apa Paman?” tanyaku melibatkan diri dalam pembicaraan. “Bisnis biasa. Ya, mengembangkan bisnis yang ada, agar tidak berkutat di bidang itu saja.” Pamanku ini telah beberapa kali jatuh bangun dalam membangun kerajaan bisnisnya. Bisnis grosir pakaian. Beberapa tahun ini, dia baru saja mengalami kerugian yang tidak sedikit, yang menumbangkan kerajaan bisnisnya. Pailit. Dia hampir saja menyerah. Untung saja paman masih berfikir rasional dan mau belajar. Bisnis konvensional yang telah dijalaninya bertahun-tahun silam, membutuhkan pembenahan. Perlakuan yang berbeda. Kedatangannya kali ini juga berkaitan erat dengan kemauan belajar itu. Belajar dari orang yang telah lebih dahulu sukses dalam menjalankan kiat-kiat bisnisnya. Aku beranikan diri untuk mengajukan proposal bisnis. Hanya saja tidak malam ini, sebab kondisinya tidak memungkinkan. Paman masih lelah setelah melakukan perjalanan lebih kurang 12 jam. Dia butuh istirahat. “Berapa hari rencana di sini Paman?” “Setelah urusan selesai, Paman langsung pulang. Mungkin satu atau dua hari. Paling lama, dua hari lah.” Dua hari. Besok siang mungkin Paman akan menemui rekannya itu. Aku juga kuliah. Mungkin sore, aku bisa mengajak paman berkonsultasi. “Hmm, besok pasti ada kesempatan.” batinku.### “Lagi santai?” kutemui Paman yang sedang duduk di beranda depan menikmati angin yang berhembus lewat dedaunan pohon mangga yang menari-nari riang. “Ya. menikmati sore yang cerah.” Paman tertawa. “Ya, sore ini memang sangat cerah.” Aku menimpali. Bagaimana urusannya hari ini Paman?” “Alhamdulillah. Semua berjalan lancar. Hanya saja tadi sedikit tersesat. Ya, namanya bukan orang sini, berani-beranian saja jalan tanpa penunjuk jalan.” Kami tertawa bersama-sama. Setelah terdiam beberapa saat. “Oh iya Paman, kalau mau buka warnet di Medan, Paman mau?” aku memancing pembicaraan. Ide ini muncul dari seorang kawan lama ketika di suatu malam aku bertemu dengannya dan membicarakan peluang bisnis yang kira-kira akan diminati masyarakat Medan. Dia memang mengusulkan untuk membuka game online. Tapi aku kurang setuju jika hanya game online karena fungsinya tidak terlalu banyak, hanya terfokus untuk game saja. Sementara jika orang-orang ingin browsing atau sekedar mengirim email, tentu saja penggunaannya menjadi terbatas. “Maksudnya?” Paman minta penjelasan lebih dariku. “Begini Paman.” aku memulai presentasiku. “Sekarang penggunaan media internet sedang berkembang pesat karena banyak faktor diantaranya masyarakat sudah mulai melek terhadap perkembangan informasi. Dunia yang telah mengglobal menuntut kita untuk selalu mengetahui beragam informasi. Masa sekarang, orang-orang yang mengetahui informasi, dialah yang akan jadi pemenang Paman. Tidak lagi berdasarkan otot atau hanya otak, tetapi keberagaman informasi yang diketahui lebih cepat. Bahkan di kota-kota besar lain di Indonesia, internet itu sudah menjadi kebutuhan Paman. Dan menurut pengamatan saya, di kota ini telah mulai menggeliat kegiatan berbau informasi tersebut. Karena itu, jika kita membuka usaha tersebut, Insya Allah tidak akan sepi dari pengunjung, mengingat fungsi yang saya sebutkan tadi Paman.” Paman manggut-manggut. “Masuk akal juga penjelasan kamu. Trus?” “Jika Paman berminat, saya bisa mengelolanya. Paman sebagai investornya. Meskipun Paman tidak ikut menjalankannya tetapi Paman menerima bagi hasil dari keuntungan pendapatan warnet setiap bulannya.” “Jika defisit?” “Ditanggung bersama juga Paman. Tapi saya yakin, usaha ini akan maju, meskipun mungkin di awalnya harus melakukan promosi besar-besaran agar masyarakat tahu. Apalagi jika kita lebih mengutamakan pelayanan, para pengunjung tentu akan senang dan menjadi loyal terhadap warnet kita meskipun di sekitar kita betebaran usaha serupa.” “Penjelasanmu bagus. Ternyata kamu sudah besar ya. Sudah bisa merayu Paman dengan kata-kata. Sudah berapa wanita yang terpikat Nak?” Paman malah menggodaku. Atau mungkin mengalihkan pembicaraan. Aku hanya tersenyum, menghormatinya. “Paman fikirkan dulu ya. Tadi Paman baru selesai tanda tangan kontrak. Kamu tahu maksudnya kan?” Aku mengangguk. “Minggu depan, Paman akan ke sini lagi. Kita lanjutkan obrolan ini. Tapi ingat, jangan tergesa-gesa dan jangan mendesak Paman. Paman tidak suka.” Paman memberiku ultimatum. Tapi itu kuanggap sebuah pelajaran tentang cara pendekatan yang baik. “Siip.” Aku mengacungkan jempol dan berdoa dalam hati semoga percakapan hari itu diaminkan oleh malaikat.### Debu polusi yang bertebaran telah menebalkan kulit wajahku. Berkali-kali aku membersihkan kacamata yang ditempeli debu-debu sehingga menghalangi pandanganku. Terkadang mataku juga tidak luput dari serangannya sehingga aku berkali-kali juga harus mengeluarkan kotoran tersebut dari mataku. “Ok. Paman setuju dengan proposalmu kemarin. Tapi dengan syarat, Paman memberimu waktu seminggu untuk survey tempat. Paman ingin lihat, kamu serius atau hanya sekedar gurauan belaka.” Tempo hari setelah kedatangan Paman yang kedua kali, dia menerima tawaranku. Telah lima hari aku berputar-putar di jalanan mencari lokasi dengan harga yang cocok untuk membuka usaha ini. Tetapi semua masih nihil. Belum ada yang memuaskan. Bahkan untuk menentukan lokasi yang tepat juga menjadi sangat sulit ketika dibutuhkan. Mungkin ini ujian kesabaran. Jika untuk urusan ini saja aku menyerah, bagaimana aku akan menang dengan perkara yang lebih besar? Aku tidak boleh menyerah. Kupaksakan diri untuk terus menyusuri semua lini yang kuketahui. Telah lima hari dari jadwal yang kusepakati. Janji adalah hutang yang harus dibayar. Meskipun dia adalah pamanku, seseorang yang kemungkinan besar akan sangat luluh dengan permohonan keponakannya untuk menangguhkan waktu yang tidak sanggup kulakukan. Aku berusaha professional. Bersikap dewasa. Janji adalah janji. Hanya seminggu. Tidak bisa ditawar-tawar. Waktuku tinggal dua hari lagi. Ibarat seorang pasien, kondisinya sedang kritis. Jika tidak segera ditangani dengan tepat, akan membahayakan jiwa, mengancam pada kematian. Aku harus terus semangat. Demi sebuah mimpi, tidak diremehkan ayah lagi.### Opening usaha baru ini hanya dihadiri beberapa orang yang kesemuanya adalah teman-teman kuliahku. Hanya sebuah syukuran, acara kecil untuk penanda usaha ini didirikan. Ada setitik haru ketika nama dari usaha ini terpampang di depan sebuah ruko yang berhasil kutemukan di hari terakhir pencarian. Peluh telah mengucur deras di sekujur tubuhku. Sejak dua hari yang lalu, hatiku tidak berhenti bermunajat, meminta kemurahhatianNya untukku. Menunjukkan arah langkahku yang telah mulai bergetar memikirkan kisah akhir yang belum dimulai. Pencarian hari terakhir itu benar-benar menguras tenaga dan otakku. Senja telah tampak di ufuk barat. Dari pengeras suara mesjid di kota itu telah mulai terdengar lantunan ayat Al-Quran yang dibaca dengan tartil. Sedangkan aku, masih beradu dengan waktu untuk mencapai tujuanku. Kubelokkan motor blackku. Daerah sekitar kampus. Kuulangi mengelilingi dan memperhatikan bangunan- bangunan yang berdiri kokoh di sana. Lebih teliti dari sebelumnya. Ketika suara keputusasaan telah menghantui, mataku tertumbuk pada sebuah tulisan. Disewakan. Hubungi. Kuperhatikan lamat-lamat nama pemilik dari nomor yang tertera. Pemilik ruko tersebut adalah orang terdekat Paman. Bagai menemukan harta karun, aku menghubungi Paman. Batinku berkata, dia akan berkenan. Paman, aku menemukan sebuah ruko. Lokasi strategis, dekat kampus. Dekat dengan pemukiman mahasiswa. Pemilik sebuah kapling terkenal di kota kita. Kapling matahari. Maka di sinilah aku sekarang. Sedang membuat syukuran. Paman tidak bisa hadir karena suatu urusan. Paman mengamanatiku mengurus semuanya setelah pembelian komputer. Hanya satu pesan Paman, segera beroperasi. Hari itu, Tuhan menuntun langkahku dengan memberikan niat untuk membelokkan motorku ke perempatan jalan menuju kampus idamanku dan di situlah aku melihat sebuah ruko yang sekarang kujadikan tempat untuk memulai usahaku yang ketiga. Semoga ini akan menjadi awal yang baik. Dan lagi-lagi, aku berharap doaku ini membuat para malaikat untuk mengiringinya dengan ucapan Amin.### Momentum seharusnya menjadi satu hal yang harus kupertimbangkan jika ingin memulai sebuah usaha. Itu luput dari pengamatanku. Lokasi warnet yang baru kubuka berada di dekat kampus. Opening usaha ini ketika kampus sedang sepi, mahasiswa sedang libur. Alhasil, bulan pertama yang kuhadapi adalah komputer-komputer yang sehariannya tidak disentuh. Aku dan karyawanku sering bersitatap, saling menggeleng, mengangkat bahu dan tertawa. Aku sudah berusaha untuk membuat promosi menarik. Promo selama seminggu: bermain dua jam, gratis satu jam. Yang sering datang adalah teman-teman yang kemarin kuundang. Hanya seminggu. Seperti promo yang kuberikan. Selebihnya, mereka pun tak pernah lagi muncul. Aku juga tidak berhenti share info tentang usaha baruku ini di situs jaringan sosial milikku. Aku mengupdate status setiap hari, status yang sama, berkunjung ke warung internet milikku. Beragam komentar bermunculan di wall ku. Ada yang serius, bercanda, bahkan mengolok-olok. Aku sering menghela nafas berat saat melihat komentar yang bermunculan itu. Aku tetap berusaha menenangkan hati. Awalnya, orang-orang hanya memberi komentar. Jika nanti dia perlu, pasti datang. Aku jadi teringat Lia, teman SMA ku yang berprofesi sebagai pedagang, meskipun dia masih di bangku sekolah. Dia memang berasal dari keluarga yang kemampuan ekonominya bisa dibilang kurang. Tapi aku sungguh salut melihatnya. Dia tidak pernah mengeluh dengan keadaannya itu. Dia malah memilih untuk berdagang. Dagang apa saja. Buku, kue, alat-alat sekolah, pakaian. Semua dijualnya. Promo yang dia lakukan adalah dengan membuat list harga barang-barang dagangannya. Diketik kemudian difotokopi berlembar-lembar. Kemudian dibagikan ke semua siswa yang dikenalnya. Kebanyakan dari mereka membuang kertas yang dibagikannya itu bahkan tanpa melihatnya. Ada juga yang melihat sekilas kemudian membuangnya atau melipatnya kecil-kecil dan memasukkan ke kantong baju atau celananya. Hanya segelintir yang mau memperhatikannya. Dan dari yang segelintir itu, hanya segolongan kecil yang berminat dan memesan barang dagangannya itu. Tapi Lia tidak pernah kehilangan ide. Bahkan dia selalu bersemangat. Pernah juga waktu ada acara di sekolah, dia ikut bazaar buku dan pakaian. Kebanyakan siswa hanya melihat-lihat dan bertanya ini itu, tanpa berminat untuk membeli. Tapi wajahnya tetap ceria. Dia tidak merasa dipermainkan. Dia tetap menghormati para pengunjung meskipun hanya sekedar melihat. Karena penasaran, kudekati ia. “Hai, ikutan buka bazar juga. Hebat!!” kuacungkan jempol. “Eh, Firman. Hehe. Iya. Silahkan dilihat-lihat dulu. Ini bukunya bagus lho.” Dia mengambilkan sebuah buku dan memberikannya padaku. Kuterima buku itu dan melihat sekilas. “Ngomong-ngomong, kamu nggak marah orang-orang ini mengobrak-abrik daganganmu?” “Haha. Ya nggak dong. Aku malah senang, walaupun mereka cuma lihat-lihat atau cuma nanya-nanya. Mereka sudah datang saja, aku sudah senang. Hmm, ngomong-ngomong, kamu masih ingat pelajaran Peluang nggak?” Aku mengangguk. Itu pelajaran kelas satu. Aku kan jagonya. “Memangnya kenapa?” “Kalau aku nggak salah, peluang itu cuma berlaku 20% saja. Artinya, dari sekian banyak orang yang datang ke standku, peluang dari mereka yang membeli daganganku cuma 20%. Kalau 10 orang, berarti cuma dua orang yang membeli. Jadi untuk apa aku harus kecewa jika mereka cuma lihat-lihat. Kan rumusnya sudah ada?” dia tersenyum. “Nah, sekarang pertanyaannya, kamu masuk yang 20% itu nggak?” dia tertawa menggodaku. “Haha. Benar juga. Oke. Aku beli buku yang ini saja.” Aku mengambil sebuah buku yang paling tipis dengan harga yang paling murah “Maklum ya, kantong seorang siswa, tipis.” Kami sama-sama tertawa. Akhirnya aku mengerti konsep itu. Namun, terkadang, saat menghadapi kenyataan, ada masa-masa aku merasa nasibku sangat sial. Yah, namanya manusia. Kondisinya labil, berubah-ubah, seperti kondisi yang dialaminya waktu itu.### to be continued

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...