Jumat, 21 September 2012

Zona Ketidaknyamanan

Semenjak aku keluar dari kehidupan kampus, aku memilih profesi sebagai wirausaha begitu menjejakkan kaki di universitas kehidupan. Pilihan aneh menurut sebagian banyak orang yang mengenalku.
“Sudah selesai kuliahnya? Kerja dimana atau nagajar dimana sekarang?” begitu pertanyaan yang mereka lontarkan.
“Aku mengelola cafe.” jawabku santai, dengan senyum manis yang kumiliki.
“Sayang sekali ya. Kenapa tidak mengajar saja atau kerja dimana gitu.” pertanyaan mereka selanjutnya.
Aku tidak merespon. Bukan tidak punya jawaban. Hanya tidak ingin berdebat. Sebab pilihanku ini memang terkesan ‘aneh’ bagi mereka. 
Aku selalu berusaha menghindari perdebatan. Dalam perdebatan, setiap orang pasti mempertahankan pendapatnya, sama-sama ingin menang. Itulah yang tidak kusukai. Oleh karena itu, aku memilih diam. Cara aman agar perdebatan tidak bermula atau segera berakhir.
Bukan tidak ada masalah saat aku menetapkan pilihan ini. Terlalu banyak malah. Bahkan untuk menenangkan hatiku bahwa aku tidak salah memilih pun sering kulakukan ketika saat-saat galau itu muncul. Kekurangan omset. Pelanggan yang sepi. Modal yang belum terbayar. Sewa kios yang masih seperdelapan dalam genggaman. Belum lagi tagihan listrik dan air yang menunggu untuk dibayarkan. Semua itu terkadang mengerdilkan semangat untuk tetap bertahan di zona tidak nyaman ini.
Hanya senyum ibu yang menguatkan kembali jiwaku. Nasihatnya bagai oase di sahara jiwaku. Melegakan.
“Air tidak selalu pasang Nak. Pasti ada surutnya. Demikian dalam bidang yang kau geluti, dagang. Terkadang ramai, terkadang sepi. Begitulah hidup. Bagai roda yang berputar. Tak usah risau. Bersabarlah. Kelak kau akan petik dari hasil kesabaran itu.”
Ibu sangat paham alasanku atas dunia baru yang kujalani itu.
“Aku hanya ingin mengubah kehidupan kita, Bu. Tidak melulu seperti ini. Di samping, aku juga ingin menambah lapangan pekerjaan, bukan menambah jumlah orang yang ingin bekerja. Satu-satunya jalan yang ada dalam benakku adalah wirausaha, Bu.”
Ibu tersenyum, tenang menanggapi. “Ibu tidak akan memaksa kalian agar jadi seperti Ibu. Tidak akan pernah. Berlarilah, dan kejarlah mimpi yang telah kalian bangun. Kalian telah cukup dewasa dalam mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup yang kalian hadapi. Jika hanya ingin seperti ibu, hidup kalian tidak akan jauh-jauh berbeda. Hanya mengharapkan tanggal satu. Kemudian mulai mengencangkan ikat pinggang di akhir bulan. Pesan ibu, selalu ingat Tuhan dalam setiap urusan. Jika jadi pedagang, jadilah pedagang yang jujur, seperti yang dicontohkan Nabi. Sesibuk apapun, jika waktu shalat tiba, jangan pernah meninggalkannya. Semua itu hanya urusan dunia. Jangan pernah melupakan uurusan akhiratmu jua.”
Nasehat panjang ibu ketika kuucapkan niatku saat itu.
Dunia itu pun kugeluti. Niat hati ingin berwirausaha, namun pada awalnya seperti kerja serabutan. Dimana rezeki terkuak, ke sana akan kukejar.
Setahun, aku menjadi pengelola warnet, belum habis perjanjian dengan investor, aku harus rela mengalah atas janji yang diingkari. Aku pulang. Kandas harapanku kala itu. Sebuah pengkhianatan, mampu membuat hatiku porak poranda. Pulang tanpa ada pengharapan. Biarlah Tuhan yang menunjukkan jalan.
Tahukah kau, kawan! Tuhan itu memang Maha Baik. Dia menunjukkan jalan. Aku diminta kakak iparku untuk mengelola cafe bersamanya. Tawaran itu, tentu saja kuterima dengan hangat. Kakak ipar hanya menemaniku selama sepuluh hari, sebab ia pindah, membuka usaha baru di daerah asalnya. Dalam kesendirian itu, aku tetap berusaha fight. Aku tidak tahu apa-apa, bahkan memasakpun aku tidak terlalu suka, lalu aku ditinggalkan memikul tanggung jawab itu, sendirian. Aku berusaha keras belajar. Sebulan, aku pun terbiasa dengan semua urusan dapur itu.
Sudah kukatakan di awal, berada di dunia usaha sama artinya dengan menempati zona ketidaknyamanan. Hanya setahun, cafe yang kukelola, yang merupakan milik dua orang (Kakak iparku dan temannya), harus kuserahkan pada pemiliknya kembali. Sebab sang pemilik (dalam hal ini adalah teman kakak iparku) tidak hanya ingin bagian sebagai investor tapi dia juga ingin ikut serta mengelolanya.
Aku, masih dengan sikap menjaga perdamaian, menerima keputusan walaupun harus move on dari cafe tersebut. Tak apa. Pasti ada jalan lain. Dan, kututup catatan hatiku tentang cafe yang kemarin kukelola.
Dan, tahukah kau kawan, keajaiban itu muncul lagi, oleh sebuah kata: silaturrahim.
Jika kalian pernah dengar perkataan yang menyebutkan silaturrahim akan memperpanjang usia dan menambah rezeki, itu benar. Aku akan menggarisbawahi kata menambah rezeki.
Sudah kukatakan bahwa aku telah tutup buku untuk kata bernama ‘cafe’ yang pernah kukelola kemarin. Waktu setahun kurasa telah cukup untuk menambah pengalaman di bidang kuliner itu. Namun di suatu hari, kakak iparku mengajakku ke cafe, silaturrahim ke sana, mengunjungi temannya itu. Tidak terlintas sedikitpun bahwa aku akan kembali ke cafe walau saat itu aku berstatus non job. Tanpa sepengetahuanku, ternyata mereka membicarakanku. Apakah aku mau kembali ke sana?
Kakak ipar menanyakan kesediaanku lagi. Aku katakan, aku mau, asalkan sistemnya, sistem bagi hasil seperti kemarin. Teman kakak iparku itu setuju. Aku pun mengangguk mantap untuk memulai lagi jiwa petualangan itu di sana.
Rezeki tidak kuduga yang Ia hadiahkan padaku semakin menambah keyakinanku padaNya. Ketika seluruh urusan kehidupan ini benar-benar kita serahkan padaNya, Dia akan memberikan yang kita butuhkan, tanpa pernah kita duga. Yakinlah kawan!
Jadi, apapun yang kita pilih, yang kita jalani, terima saja dengan kesyukuran. Akan selalu ada kemudahan-kemudahan di balik kesukaran. Kesukuran itulah sebenarnya penambah indahnya perjuangan. Demikian dengan kisah hidup yang kujalani. Awalnya mungkin begini. Aku masih seekor semut di antara kerumunan gajah. Kerdil. Bahkan akan mudah diinjak-injak. Tapi, ketika semut kecil itu bertahan, berusaha menghindar dari pijakan kawanan gajah, pastilah dia akan menemui titik kemenangannya. Bukankah gajah yang sangat besar badannya juga bisa tumbang oleh semut kecil di saat sang gajah terlena, tidak menyadari ketika semut kecil itu menaiki tubuh tembemnya sampai ke kepala lalu memasuki telinga sang gajah sampai ke gendang telinga yang jika digigit oleh hewan sekecil itu pun akan terasa sakitnya. Bahkan gajah yang berbadan besar itu pun tumbang, kawan!

Selasa, 18 September 2012

Jejak di Dua Kota

“I have a dream. I want to continue my study at archeology UGM. If I do my best, I believe I can. I can be there as soon as possible. After graduated from high school, I believe I’ll be there.” Sebuah catatan yang kubaca dari tulisannya tentang mimpi yang dia punya. Saat itu, dia sedang mengikuti bimbingan belajar di sebuah tempat bimbingan di kota Medan. Aku bisa merasakan semangat yang dia punya dengan membaca tulisan itu. Tulisan tentang sebuah mimpi miliknya. ### Polonia, 2 Juli 2011 pukul 18.30 PM Setengah tidak percaya kupandangi dia. Sebentar lagi dia akan masuk ke dalam untuk melakukan penerbangan pertamanya. Kucek ulang barang-barang bawaannya. Kepergiannya ini tidak pernah kami duga karena sesungguhnya kami tidak mengharapkannya. Yogyakarta. Tempat itu terlalu jauh buat kami. Terlalu sulit untuk kami raih. Kami sekeluarga pada awalnya terkesan tidak setuju atas pilihannya untuk menuju kota pelajar itu. Alasannya cukup klasik. Masalah biaya. Jaraknya yang lumayan jauh, ongkos yang harus dibayar juga tidak sedikit. Tidak memungkinkan untuk bisa pulang, terlebih saat lebaran. Lebaran adalah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga. Masa seperti itu akan tetap menyisakan sedih meskipun telah kita coba kuat-kuat untuk menepisnya. Kami semua telah mencoba meyakinkannya bahwa UGM bukan pilihan yang tepat. Tetapi dia tetap bersikukuh. Tidak bergeming sedikitpun dari pendiriannya. Pada akhirnya, dia menjadikan UGM pilihan pertamanya saat mendaftar ujian masuk universitas tersebut. Tidak seorang pun dari kami yang mengharapkan dia lulus di sana. Akan tetapi kenyataan menjawab lain. Dia lulus untuk jurusan yang sangat diinginkannya itu. Kelulusan itu membuat kami bahagia, tetapi diiringi dengan airmata. Airmata kepedihan. Pedih dengan nasib. Buat keluarga besar kami yang hidup dengan gaji dua orang guru SD di desa yang terbilang cukup terpencil, akhir bulan adalah saat-saat menggetirkan. Ketika uang yang di tangan tidak lagi memadai. Dengan apa dia akan diberangkatkan? Ketidakberharapan itu membuat kami tidak mempunyai persiapan. Terlebih ibu. Mendengar kabar itu, dia yang sedang menulis RPP dan silabus, terhenti seketika. Seperti waktu yang terhenti, itulah yang ibu rasakan. Dia terdiam. Diam memikirkan anak yang akan menuju kota yang jauh. Tuhanku, sungguh Engkaulah yang menentukan semua ini. Engkau tahu aku sanggup melakukannya maka Engkau berikan masalah ini untukku. Aku bahagia ya Tuhan untuk keinginan anakku yang tercapai. Cita-cita yang dia idamkan. Tetapi ya Tuhan, Engkau juga tahu keadaan ekonomiku yang juga begitu terhimpit. Aku tahu Engkau tidak pernah zhalim pada hambaMu. Berikanlah aku jalan keluar terbaik ya Tuhanku untuk masalahku ini. Aku yakin, inilah yang terbaik dariMu. Mudahkanlah urusanku. Lapangkanlah dadaku Berikanlah jalan keluar terbaik untuk masalahku. Ibu berkata-kata sendirian sembari terus menulis dengan hati yang ikut menangis meski setetes airmata pun tidak keluar dari pelupuk matanya. ### 29 Juni 2011 Medan, pukul 20.00 “Za, hari ini pengumuman SNMPTN kan? Coba cek dulu Dek. Lulus atau gk Afif kita. Kalau feeling kakak, dia lulus. Tapi bukan di UGM. Di USU atau UNIMED dia lulusnya. Kasihan ibu kalau dia lulus di UGM. Berapa ongkos kesana ya? Sekarang lagi akhir bulan pula. Udah sekarat keuangan. Sama kayak kita.” Ujarku. “Iya kak. Aku juga berharap seperti kakak. Aku udah browsing Kak. Tapi masih loading dari tadi. Agak lelet nih Kak. Sabar ya. Kalau udah berhasil, aku kasih tahu.” “Ok.” Selang beberapa menit kemudian, Za berteriak “Kaaak.” “Ada apa Za?” aku mendekat ke arahnya yang sedang melihat sesuatu di layar yang mengejutkannya. “Afif lulus di UGM kak. Dia lulus pilihan pertama. Aku nggak salah lihat kan Kak?” dia sedikit bersedih. “Nggak. Kamu gk salah lihat. Itu memang namanya. Kok malah sedih gitu? Harusnya senang dong.” “Ibu Kak. Aku mikirin ibu. Aduh si Afif ini. Nggak mau dengerin kita sih. Kekmana nih Kak?” “Nggak masalah itu Dek. Kalau sudah di hadapan kita, kita pecahkan sama-sama masalahnya. Apa saja persyaratannya? Buka halaman selanjutnya dulu Dek. Biar kita sekalian ngasih tahu sama Ibu beserta persyaratan yang harus dilengkapinya.” Kami membaca persyaratan yang harus dibawanya saat registrasi. Disebutkan registrasi dilaksanakan pada 1-4 Juli 2011. Hari ini sudah 29 Juni 2011. Hanya punya waktu empat hari untuk melengkapi persyaratan yang jumlahnya juga seabrek. “Kak” badan dan wajah Za melemas. “Udah, tenang aja Za. Kasih tau aja dulu Ibu. Di sms aja. Malam ini kita fikirkan jalan keluarnya. Yang penting ibu telah kita kabari. Urusan lainnya, kita fikirkan besok. Insya Allah ada jalan keluarnya.” Jawabku. Padangsidimpuan, pukul 21.00 Handphone Ibu bergetar. Ada sms masuk. Bu Alhamdulillah si Afif lulus Arkeologi UGM. Za. Begitu pesan yang Ibu terima. Ibu tersenyum getir membaca sms itu. Ibu tahu, Afif sangat menginginkan belajar di universitas kebanggaan itu. Ibu tidak pernah menahan anak-anaknya menggapai cita-cita yang diimpikan sejak lama. Ibu juga tidak bisa melihat akibat seandainya keinginan itu tidak dikabulkan. Afif, adalah anak yang begitu bersemangat untuk meraih mimpi-mimpinya. Apapun akan dia lakukan. Bahkan sebelum ujian SNMPTN, dia tidak berharap muluk-muluk dari ibu. Dia bertekad, jika hanya uang yang menjadi masalah utama, dia rela bertempat tinggal di mesjid, untuk mengurangi biaya hidup. Hanya satu yang dia minta, dia diizinkan untuk melangkahkan kakinya di kota pelajar yang penuh gairah ilmu itu. Masalah klasik itu sangat tidak bisa ibu hindarkan. Ibu benar-benar tidak memiliki uang lebih untuk memberangkatkannya. Hal itu yang membuat fikiran ibu puyeng. Pusing yang berlipat-lipat. Hanya memasrahkan diri pada pertolonganNya, itulah yang sanggup untuk ibu lakukan. Ketika tidak ada seorangpun yang mampu menolongmu dari keterpurukan, yakinlah hanya Dia tempat meminta pertolongan yang utama. Ibu menyabarkan hatinya dengan untaian kalimat itu. Berselang satu jam kemudian. “Assalamu’alaikum” suara Afif terdengar mengucapkan salam. “Wa’alaikumussalam” ibu membukakan pintu. “Bagaimana hasilnya Nak?” tanya ibu memastikan jawaban dari Afif. “Alhamdulillah Bu, lulus di UGM.” “Alhamdulillah. Kapan harus daftar ulang Nak? Apa persyaratan yang harus dibawa?” “Paling lama tanggal empat Bu, aku sudah harus di sana untuk registrasi. Registrasinya tidak bisa diwakilkan Bu. Harus oleh mahasiswa yang bersangkutan.” “Hmm, berarti harus sudah sampai di Yogya pada tanggal 4 ya? Itu juga menuntutmu untuk segera berangkat dari sini sekitar tanggal 1 atau tanggal 2. Mepet kali waktunya ya?” ibu tampak berfikir. Afif hanya terdiam. “Ya sudah, istirahat lah. Segarkan fikiran dulu. Masih banyak hal yang harus kita lakukan. Malam ini ibu fikirkan jalan keluarNya. Mudah-mudahan Allah menunjukkan jalan yang harus ibu tempuh. Insya Allah, ada jalan. Tidurlah.” Kata ibu berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. “Tunjukkan jalanMu ya Tuhan.” Doanya dalam hati tanpa ada airmata, karena airmatanya telah mengalir ke dalam, jauh ke lubuk hatinya, yang basah…. Medan, 30 Juni 2011 Kuperhatikan persyaratan-persyaratan yang harus dibawa saat registrasi. Persyaratan yang berhubungan dengan identitas atau fotokopi ijazah, masih bisa untuk diselesaikan meskipun waktunya sangat sempit. Hanya satu yang membuat keningku berkerut. Biaya yang harus segera dilunasi. Aku mencari-cari informasi untuk menanyakan tentang hal tersebut. Menanyakan keringanan. Haruskah dilunasi semuanya saat registrasi atau bisa dicicil per semester. Aku melihat ada nomor telepon yang bisa dihubungi. Kutelpon berulang kali, tetapi selalu nada sibuk. Tak pernah diangkat. Ada email yang juga tertera. Aku juga mengirimkan email ke alamat tersebut berharap ada balasan. Setengah hari kutunggu, tidak ada balasan dari pihak penyelenggara yang masuk ke inboxku. Aku ingin tahu rencana ibu. Meskipun belum ada kepastian yang kuperoleh, aku menghubungi nomor ibu. “Assalamu’alaikum. Ada apa Nak?” “Wa’alaikumussalam. Ini Bu, terkait biaya yang harus dilunasi. Ibu sudah tahu?” “Belum Nak. Kenapa?” Aduh, gimana bilangnya ya? Nanti ibu makin pening mikirinnya. Tapi kalau aku nggak memberi tahu, bermasalah pula si Afif sesampai di sana. “Eng, ini Bu, total yang harus dibayar berkisar 12 juta. Di sini tertulis semua itu harus dibawa saat registrasi. Aku sudah mengirimkan email menanyakan tentang keringanan untuk yang tidak bisa segera melunasinya. Masih menunggu jawaban sih, Bu.” dengan berat hati kusampaikan pada Ibu berita itu. “Oh, begitu pula ya Nak peraturannya. Sepertinya ibu harus konsultasi dengan pamanmu yang berada di Yogya. Mungkin dia punya pemikiran lain.” “Iya, Bu. Aku juga sudah list teman-teman yang ada di Jawa. Siapa tahu mereka punya sedikit gambaran meskipun tidak kuliah di situ. Mungkin adiknya yang kuliah atau adik temannya. Ibu nggak sendirian ya Bu. Jangan bersusah hati Ibu ya.” pintaku. “Iya Nak. Tenang saja.” “Apa tanggapan ayah Bu?” “Baiknya tidak usah bertanya perihal ayahmu. Seperti tidak tahu tabiatnya saja. Tidak ada respon darinya. Dia hanya diam, tidak bisa diajak komunikasi. Ibu sendirian. Jadi, ibu hanya punya kalian. Sampaikan saja informasi yang kalian dapatkan. Itu sudah sangat membantu. Masalah lainnya, kita bertawakkal saja pada Allah. Selalu berbaik sangka padaNya. Ibu mau menelpon pamanmu dulu ya Nak.” “Oh, iya Bu. Assalamu’alaikum.” Ayah. Selalu seperti itu. Tidak pernah mau tahu. Bagaimana kami bisa mengingatmu saat jauh. Ahhh, aku menghela nafas. Berat. ### Padangsidimpuan, 30 Juni 2011 Ibu baru pulang dari sekolah saat menerima telepon. Udara panas, gerah dan pemikiran yang sedikit ruwet, sedikit membuat badan ibu lemas, gemetar. Tapi ibu berusaha untuk tidak menunjukkannya pada anak-anaknya. Terutama pada si Afif. Suamiku. Kapankah kau mau berinisiatif untuk biaya sekolah anak-anakmu? Mengapa terdiam? Mengapa hanya harus aku yang memikirkannya? “Pak, si Afif lulus di UGM.” Ibu membuka suara. Hening. Beberapa saat. Masih hening, beberapa saat kemudian. Ibu mendengus sebal. Aku juga bisa tanpamu. Akhirnya bisik itu yang muncul dalam benak ibu ketika ayah tidak juga bergeming dari diamnya. “Si Afif belum pulang Nak?” tanya ibu pada kak Sara, menantunya yang masih tinggal di rumah sejak pernikahannya dengan abang dua tahun yang lalu. Dan kami tidak keberatan. “Belum Bu. Bentar lagi mungkin. Bagaimana keberangkatannya Bu? Kapan rencana dia akan berangkat Bu?” Ibu menghela nafas, berat. “Dari informasi yang ditentukan pihak universitas, dia besok telah harus berangkat. Mengingat perjalanan yang jauh dan cukup berliku.” “Hmm, kalau Ibu perlu, aku punya tabungan. Meskipun tidak terlalu banyak, tapi mudah-mudahan bisa membantu.” Kak Sara menawarkan. Subhanallah. Engkau memang Maha Pemurah. Riang, Ibu memuji kebesaran Allah. “Alhamdulillah. Ibu memang memerlukan sejumlah uang. Terimakasih anak telah berbaik hati membantu kesulitan Ibu.” “Saya juga patut berterima kasih kepada keluarga ini, terlebih pada Ibu, karena Ibu dan keluarga ini telah sangat baik pada saya, dan tidak membedakan saya dengan anak-anak Ibu.” ujarnya, merendah. Beban di pundak ibu telah sedikit berkurang dengan tawaran menantunya. Setiba Afif di rumah selepas menunaikan shalat Jumat, ibu menanyakan persiapan yang telah dia lakukan. “Masih ada persyaratan yang harus dilengkapi yang belum terpenuhi Nak?” “Ada Bu. Kartu perpustakaan dan kartu pelajarku Bu. Nggak ada kutemukan.” Ibu berfikir sejenak. “Pergilah ke sekolah untuk mengurusnya. Mudah-mudahan urusanmu dimudahkan oleh Allah. Pandai-pandai saja membujuk pihak sekolah agar kartu-kartu itu bisa kau dapatkan selambatnya besok sore. Besok kau sudah harus berangkat, bagaimana pun caranya.” “Iya, Bu. Tapi aku makan dulu ya Bu. Aku lapar.’ wajahnya memelas. Ibu tersenyum. Dia bahkan sampai lupa mengisi perutnya yang kosong. Kehilangan selera. “Tentu saja.” Ibu kemudian menghubungi paman yang berada di Yogya. Setelah berbasa basi sejenak, ibu langsung ke pokok pembicaraan. “Ada apa Kak?” “Begini, keponakanmu lulus di Arkeologi UGM. Dia harus registrasi tanggal 4 Juli nanti. Kalau dipaksakan naik bus, mungkin sampai empat hari. Jika sampai empat hari kemudian di tujuan, tidak akan jadi masalah. Tapi jika tidak, akan sia-sia rasanya. Bagaimana menurutmu?” “Kalau begitu persoalannya, baiknya naik pesawat saja Kak. Memang lebih mahal biayanya. Tapi lebih memungkinkan tiba di tujuan sebagaimana mestinya. Kapan dia berangkat Kak?” “Rencana besok malam dia berangkat. Sebab hari ini dan besok masih mengurus beberapa administrasi yang harus dia bawa.” “Ke Medan dulu?” “Ya, menurut kakak, dia ke sana dulu karena kakak-kakaknya bisa membantunya setiba di sana.” “Ya, hemat saya juga begitu Kak. Jadi kalau dia berangkat besok malam, akan tiba di Medan lusa. Ambil penerbangan lusa saja. Tapi dia sudah harus tiba di Jakarta di hari yang sama. Aku yang menjemputnya nanti di bandara. Tapi dari Yogya, kami akan naik bus. Perjalanan dari Jakarta menuju Yogya menghabiskan waktu 13 jam juga Kak. Makanya aku sarankan dia tiba di Jakarta di hari yang sama.” “Bagaimana baiknya sajalah. Kakak dan abangmu, kemungkinan besar tidak bisa mengantarkannya ke sana. Jadi kakak sekalian meminta tolong padamu untuk mengurusnya selama masa registrasi juga mencarikan tempat tinggalnya di sana nanti.” “Beres Kak. Serahkan saja semua yang harus di urus selama di Yogya pada saya kak. Kakak tak perlu khawatir.” “Terima kasih banyak atas bantuannya. Maaf, jika kakak telah merepotkanmu.” “Ah, jangan berfikiran seperti itu kak. Sesama saudara harus saling membantu.” Percakapan dengan paman, adik ibu membuka celah baik yang semakin besar. Medan, 30 Juni pukul 13.40 WIB Nak, carikan tiket pesawat paling murah untuk penerbangan lusa. Adikmu akan naik pesawat ke Jakarta. Nanti di Jakarta, pamanmu yang akan menjemputnya. Besok malam, dia akan meluncur dari rumah menuju Medan, tempat tinggal kalian. Segera kabari ibu harga tiket pesawatnya, agar ibu bisa membagi uang yang sangat banyak ini. Kau mengerti maksud Ibu kan? Pesan ibu ditelpon. Mencari tiket pesawat. Sedikit runyam, karena aku belum pernah mengurus perihal seperti ini sebelumnya. Aku memang pernah menemani seorang teman satu kost membeli tiket pesawat di salah satu travel dekat kost dua tahun lalu. Tapi aku tidak mengerti prosedurnya sama sekali. Kami hanya datang ke travel tersebut, temanku itu menyebutkan kota tujuan dan tanggal berangkatnya, lalu petugas travel menyebutkan sejumlah harga, dia memberikan sejumlah uang, petugas travel menyerahkan tiket pesawat ke tangan temanku itu, urusan selesai, kami pulang. Hanya begitu. Aku berfikir apa yang harus kulakukan. Beruntung, beberapa detik kemudian, aku teringat sebuah nama. Ve, teman dari temanku yang sekarang menjadi temanku, baru saja membuka sebuah travel yang menyediakan tiket pesawat domestik dan mancanegara. Aku bisa minta bantuannya. Segera ku email dia. Smile : Ve. Masih jalan travel mu kan? Beberapa saat kutunggu. Balasan Ve, muncul. Ve : Ya, ada apa? Smile : Aku mau booking tiket pesawat paling murah ke Jakarta Ve : Ok. Bisa ku cek. Berangkat tanggal berapa? Kota asal? Smile : Lusa. Medan. Ve : Ok. Ku cek dulu ya. mohon sabar menunggu. Menunggu jawaban Ve, aku iseng membuka situs sebuah travel. Lion Air. Ve : Maaf, membuatmu menunggu. Smile : Tak apa. Bagaimana? Ve : Sudah kujelajahi semua layanan penerbangan, yang paling murah berangkat pukul tujuh malam, lion, 957ribu. Harganya tidak jauh beda dengan yang kutemukan di situs tersebut. Smile : Kira-kira masih ada kemungkinan turun nggak? Ve : Nggak bisa dipastikan. Kadang iya, kadang nggak. Kalau saran aku ambil yang ini aja. Semakin cepat prosesnya, semakin baik. Smile : Ok. Aku kasih tahu Ibu dulu ya. nanti kalau jadi kukabari. Thanks ya. Ve : Yoi. Sama-sama Segera kukabari ibu. Ibu bilang baru bisa transfer setelah sore. Smile : Ve, masih ol? Ve : Ya Smile : Uangnya baru ada sore. Bagaimana itu? Ve : Booking tempat memang bisa kapan saja. Tapi pembayaran dilakukan setengah jam setelah booking. Begitu peraturannya. Smile : Oh, begitu ya. berarti kalau sudah ada kabar dari Ibu, aku contact kamu lagi ya. Belum bosan kan? Maaf, merepotkan. Ve : Its okay girl  Ku sms ibu. Bu, kalau sudah ditransfer uang untuk tiket pesawat itu, kasih tahu aku ya Bu. Agar tiketnya bisa segera fix urusannya. Padangsidimpuan, pukul 14.30 WIB Afif pulang dari sekolah dengan mata berbinar. “Aku tak perlu menunggu lama mendapatkan kartu-kartu ini Bu.” menunjukkan kartu tersebut pada Ibu. “Mendengar kabar kelulusanku di universitas tersebut, para guru yang masih berada di sekolah tadi berseru bangga. Menanyakan keperluanku dan menyelesaikannya secepat mungkin serta memberikannya padaku.” “Kau telah membuat bangga sekolah ini. Mengukir sebuah sejarah yang jarang didapatkan oleh siswa lainnya. Kau berhak mendapat pelayanan terbaik. Selamat.” “Guruku mengatakan begitu dengan menjabat tanganku Bu.” Afif melaporkan semua pengalamannya pada ibu. “Alhamdulillah. Kalau begitu, sekarang temani ibu ke pasar membeli beberapa keperluanmu.” “Siap Bos!!” Medan, pukul 16.07 WIB Smile : Ve, aku mau booking sekarang. Sudah berapa harga tiketnya?” Aku tak menerima jawaban selang sepuluh menit kemudian. Ve : Sory, baru balas. Harus ku check balik. Sebentar ya. Smile : Ok. Aku menunggu, lagi. Ve : Harganya sudah nggak segitu lagi. 967 ribu. Tetapi tetap itu yang termurah. Bagaimana? Smile : Booking buatku. Satu kursi saja. Ve : Ok. Atas nama siapa? Smile : Afif Ve : Ok. Emailmu? Smile : Untuk? Ve : Mengirimkan tiketnya. Nanti kau bisa print sendiri. Atau kau mau jemput ke kantorku? Smile : Oh. Via email saja. Smile53@yahoo.com Ve : Setelah transfer bukti pembayaran, kabari aku. Smile : Beres. Aku mau gerak. Kirimkan saja nomor rekeningnya. Sms saja. Aku paling malas mencatat. Ve : Baiklah… Aku mencari atm terdekat. Melakukan transfer yang diperlukan. Kembali ke rumah. Online, lagi. Smile : Sudah Ve. Ve : Ok. Segera kuproses. Mouse di depanku berkedip beberapa lama. Masih menunggu. Ve : Sudah kukirim ke emailmu. Silahkan di check. Smile : Siip  Aku check inbox emailku. Tiket yang kubutuhkan telah nangkring di sana. Kuhidupkan printer yang sehari ini belum disentuh. Mencetak data. Setelah hasil keluar, aku tersenyum. Akhirnya…. Smile : Thanks Ve. Ve : Welcome  Bu, sudah kupesan tiketnya. Masalah tiket, aman  Kukirim sms itu. Padangsidimpuan, 1 Juli 2011 Ibu telah berkutat di dapur sejak pulang dari sekolah dan menunaikan shalat. Dia tak banyak bicara. Juga tidak berdendang mengikuti alunan lagu yang diputar salah satu stasiun radio seperti biasa. Hening. Hanya hening. Derit pintu terdengar dari pintu samping. Seseorang melongok ke dapur, ibu terkesiap dan menghapus bulir yang tak sengaja jatuh dari sepasang mata indahnya. “Bu, apalagi yang harus kusiapkan?” Afif bertanya pada ibu. Afif memang tipe anak yang sangat manja. Dia tidak akan yakin sebelum ibu memeriksa barang-barang bawaannya. Ibu beranjak dari dapur. Mengikuti Afif ke kamar. Itu salah satu yang mengkhawatirkan ibu tentang perilakunya. Apa-apa harus bertanya pada ibu. Jika jauh, sanggupkah? “Nanti kalau sudah di sana baik-baik jaga diri.” nasehat ibu sembari memeriksa barang-barangnya. “Ibu akan selalu mendukung kalian untuk sekolah. Apapun akan Ibu usahakan agar kalian bisa tetap sekolah setinggi-tingginya. Tapi hendak kau ingat, tugasmu ke sana adalah untuk belajar. Kau boleh benci pada universitas itu, benci untuk berlama-lama di sana, sehingga itu memacumu untuk terus semangat belajar, lulus dalam waktu tercepat dengan hasil yang memuaskan. Kau telah membuat ibu bangga. Jaga itu Nak.” “Iya, Bu. Afif mengerti.” mengangguk takzim. Ibu kembali ke dapur. Salah satu kebiasaan yang ibu lakukan jika kami akan bepergian jauh, dia akan memasak menu favorit kami, membuatkan bekal di jalan, membawakan oleh-oleh khas kota yang kami senangi dalam jumlah yang tidak sedikit. “Di sana kalian susah mendapatkannya.” Jika kami tanya, itu yang selalu menjadi alasan ibu. Karena itu, kami tidak lagi pernah bertanya. Ucapan terimakasih tak terhingga yang bisa kami katakan dan semoga Tuhan Yang Kuasa membalas semua kebaikan itu dengan surgaNya. Pukul tujuh malam, bus sewa yang dipesan telah datang menjemput. Ibu memeluk Afif erat. Teringat masa kecilnya yang sangat jauh beda dengan sekarang. Afif yang linglung, mudah sakit, dan sedikit lamban berfikir sekarang telah jauh lebih baik. Linglungnya telah jauh berkurang meskipun masih tersisa sedikit, fisiknya sudah lebih kuat sebab dia suka mengkonsumsi buah dan sayuran sehat meskipun terkadang jika terkena hujan dia akan terserang flu berat, cara berfikirnya yang cenderung lambat telah dilatih berkali-kali lebih banyak dari keadaan biasa sehingga dia telah lebih mampu memakai nalarnya dengan lebih baik. “Jaga dirimu baik-baik Nak.” Ibu berusaha sekuat tenaga mengikat airmatanya agar tidak tumpah di depan Afif. Ibu tak ingin semangat Afif mengendor dengan linangan airmata ibu. Bus berjalan menuju stasiun. Naluri ibu menginginkan untuk menyusul ke stasiun. Jika tidak bisa mengantar ke daerah tujuan, setidaknya ibu masih bisa melepas anak kelima nya itu dari stasiun. Sesampai di stasiun, ibu mendapati Afif telah terkulai lemas. Dia muntah-muntah. Perjalanan belum dimulai, tapi dia telah kurang fit. Mungkin kecapaian. Ibu membersihkan baju Afif yang terkena air muntah yang muncrat ke tubuhnya. Ibu menyuruhnya meminum air mineral yang dibawanya dari rumah dan memberikan obat oles untuk menghangatkan badan. Sebelum mobil tumpangannya bergerak, ibu tidak beranjak satu langkah pun dari samping Afif, masih terus memijat pundak Afif agar angin jahat dari tubuhnya keluar dan menghentikan mual yang menyebabkan muntah. Sepuluh menit. Mobil tersebut mulai merayap di jalan raya. Hanya lambaian tangan ibu penanda perpisahan itu telah terjadi. Bulir itu pun menetes, tanpa diminta. Medan, 02 Juli 2011 pukul 08.00 WIB Sudah dimana posisi? Baru sampai loket Kak. Pukul delapan pagi, dia masih baru sampai di stasiun. Sedikit lambat dari kebiasaan. Normalnya, pukul tujuh mobil tumpangan paling lama telah tiba di stasiun. Terkadang, jika supir menyetir bagai kesetanan, pukul lima telah tiba di stasiun dengan perasaan nyawa berada di awang-awang selama perjalanan dan baru mampir lagi ke tubuh setelah berhenti di beberapa titik pemberhentian untuk istirahat sang supir atau telah tiba di stasiun tujuan. Kenapa lama? Jalanan macet Kak. Oh, pantas saja. Aku dan Za telah memasak lebih banyak hari ini untuk menyambut kedatangannya. Afif memang makan dengan lahap dalam porsi banyak. Masih masa pertumbuhan. Kami berencana menunggunya untuk makan bersama di pagi itu. Tetapi, dia masih belum sampai di rumah sementara perut telah meronta minta bagian. Akhirnya, kami memutuskan untuk sarapan lebih dahulu. Dua jam kami harus sabar menunggu sampai akhirnya kami mendengar bunyi klakson mobil yang mendekat. Hari telah pukul sepuluh. “Kenapa lama?” “Aku tadi lupa Kak alamatnya. Jadi ngantar penumpang lain dulu. Alamatnya jauh-jauh Kak. Makanya jadi lama. Kak, aku lapar.” “Oh, iya. Makanlah. Kakak tadi telah makan. Mau nungguin rencana, tapi kelamaan. Setelah makan dan mandi, istirahat lah sejenak. Kita berangkat sore ke bandara. Kau masih lelah, karena itu harus istirahat.” “Iya, Kak.” Kutatap lekat-lekat wajah manja itu. Wajah yang kemungkinan besar tidak akan kutemui jika dia belum menyelesaikan studinya. Bahkan untuk pulang saat semester, harus berfikir matang-matang, membuang uang atau tidak. Bu, Afif telah sampai. Sekarang sedang makan. Polonia, pukul 20.30 WIB Pesawat yang akan ditumpanginya delay karena cuaca buruk. Beberapa hari ini, cuaca tidak menentu di wilayah Medan dan sekitarnya. Terkadang sudah sangat terik di siang hari dan hujan deras sore harinya. Beruntung, aku dan Za tidak langsung pulang setelah tadi dia masuk ke ruang tunggu. Mengetahui pesawatnya delay, aku menyuruhnya keluar menemui kami lagi. Kulihat badannya lemas dan dia merasa mual-mual. Dia belum menunaikan shalat, karena itu dia menuju mushalla yang ada di bandara setelah menitipkan tas yang tidak dimasukkan ke bagasi pada kami. Sengaja kami membawa bekal makan malam, bermaksud hendak makan di sana, untuk menghemat. Makan di restoran bandara, harganya bisa mencapai langit, tak sanggup kami capai. Kami mengajaknya makan setelah dia selesai shalat. Lagi-lagi dia makan dengan lahap. Setelah makan, wajah itu bersinar kembali. “Hmm, rupanya tadi lapar ya Dek?” tanyaku. Dia mengangguk. “Haha. Pantasan sakit kepala. Adik saya ternyata kelaparan.” Za menggodanya. Bercanda beberapa saat sebelum dia kembali memasuki ruang tunggu. “Baik-baik di sana. Belajar yang tekun dan sungguh-sungguh. Di sana tidak ada keluarga yang bisa mengunjungimu seperti waktu di rumah, pandai-pandailah mengelola keuanganmu. Usahakan agar cukup. Tapi kalau kurang, jangan juga tidak dikatakan” pesan Za mengingatkannya. “Iya Kak.” “Ingat pasukan Thariq bin Ziyad sesampai di Spanyol waktu itu?” aku bertanya. Dia menolehku, dan menggeleng. “Sesampai di Spanyol, Thariq membakar habis semua kapal yang membawa mereka ke sana. Lalu ia berpidato di depan pasukannya. Kita telah sampai di wilayah musuh. Jika maju, musuh telah menghadang di depan. Jika mundur, lautan yang ganas juga siap menelan. Apapun keputusan yang kita ambil, resikonya sama, kematian. Jika memilih maju dan bertempur melawan musuh kemudian meninggal, meninggalnya itu dalam keadaan syahid. Jika memilih mundur, maka akan tenggelam di lautan luas itu, dan hanya akan mati sebagai pengecut. Maka semangat pasukan Thariq pun berkobar-kobar untuk bertempur hingga darah penghabisan demi satu tujuan Islam yang mulia atau mati sebagai syuhada. Hingga sejarah mencatat, kemenangan berada di tangan umat Islam.” “Kamu mengerti?” Lagi-lagi, Afif menggeleng. “Anggap saja kondisimu sekarang, sama dengan situasi pasukan Thariq tersebut. Jika mundur, akan menjadi pecundang, jika maju halangan dan rintangan akan menemuimu kelak, salah satunya mungkin kekurangan uang atau rindu pada keluarga. Namun jika kamu bersabar, maka akan kau temui kemenangan, ilmu yang kau peroleh, lulus dari universitas itu dengan baik dan membawa oleh-oleh pada orangtua dengan segenap pengalamanmu di sana. Sanggup?” “Iya kakakku sayang. Ini mimpiku. Tidak ada yang bisa menggapainya selain aku sendiri.” Afif mengangguk, mantap. “Subhanallah. Selamat berjuang. Semoga sukses.” Kami melepas kepergiannya. Lagi-lagi lambaian tangan. Lambaian tangan kepergian, juga kehilangan. Namun kami tetap harus menabahkan diri dan menyabarkan hati demi sebuah cita-cita. Cita-cita mulia yang diajarkan Nabi. Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina. Dulu, aku adalah inspirasi baginya. Inspirasi untuk berprestasi di sekolah, memenangkan berbagai lomba, menjadi utusan sekolah dalam olimpiade, masuk universitas favorit dengan jalur ujian masuk. Semua murni, tanpa ada unsur-unsur pembersihan. Tahap-tahap itu telah dijejalinya dengan baik. Hari ini, dia pergi untuk menggapai mimpi selanjutnya. Aku belajar banyak darinya. Untuk tidak menyia-nyiakan mimpi. Untuk bermimpi dan bangun mengejar mimpi itu. Ibu, Afif telah landing. Kutatap langit malam itu. Tidak ada gemintang. Namun, mimpi yang telah kubangun lagi di hatiku adalah gemintang yang kelak akan tetap bersinar saat aku berusaha meraihnya. Terima kasih untuk pelajaran hari ini, adikku yang manja. Pelajaran tentang mimpi yang kau punya. Jejak yang kau tinggalkan, telah membekas, di hatiku…. P. Sidimpuan, 9 Agustus 2012 pukul 01.18

Senin, 17 September 2012

Musim kawin :-)

Seperti biasa, aku berangkat ke cafe- sebuah usaha yang dipercaya sebagai aku pengelolanya, sekitar pukul sebelas. Dalam perjalanan sepanjang ke cafe, aku melihat banyak papan bunga yeng bertuliskan “selamat bahagia atas pernikahan...”.
Begitu aku sampai di gang depan rumah, ada beberapa papan bunga yang kulihat. Becak yang kutumpangi masih berjalan sekitar 500 meter, aku menjumpai papan bunga berikutnya. Di sebuah persimpangan, becak yang membawaku ke arah tujuan yang kumaksud berbelok, dan di sana aku juga mendapati papan bunga lainnya, masih bertuliskan senada. Pernikahan. Di rumah juga telah ada beberapa undangan terkait hal yang sama, pernikahan. 
Bulan syawal, bulan terjadinya hari raya idul fitri, seperti yang kuperhatikan merupakan bulan baik untuk dilangsungkannya sebuah pernikahan dalam tradisi masyarakat kita. Orang-orang sepertinya berlomba untuk mengadakan resepsi pernikahan putra putri mereka, karena begitu banyaknya pernikahan yang terjadi di bulan itu.
Aku selalu mengulum senyum bahagia atas moment itu. Sejak dahulu. Senang saja rasanya melihat sebuah resepsi pernikahan. Di sana akan kita temua rona yang sama, rona kebahagiaan. Senyum mengembang, wajah-wajah cerah. Cerita keceriaan.
Namun terkadang, ada sedikit sesal hinggap di benakku. Saat ini, masyarakat kita tidak lagi menjadikan pernikahan itu sebagai suatu ibadah. Seakan pernikahan adalah penunjukan jati diri. Sebuah prestise. Sepertinya, yang lebih penting dalam sebuah pernikahan adalah pesta pernikahan itu. Orang-orang seakan berlomba membuat pesta termewah hanya agar disanjung ataupun dipuja.
Bagiku, pemikiran itu terlalu dangkal. Pernikahan, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, juga merupakan ibadah. Bentuk pengabdian pada Tuhan. Harusnya alasan itulah yang patut dikedepankan.
Pernikahan juga adalah sunnah Nabi. Bukan termasuk ummat Nabi jika tidak mengikuti sunnahnya. Begitu Nabi pernah bersabda. Ya. Jika kita ingin tetap menjadi bagian dari ummat Muhammad, kita tetap harus mengikuti sunnahnya, di antaranya adalah melangsungkan pernikahan.
Nabi menganjurkan agar pernikahan itu diumumkan. Tujuannya agar masyarakat sekitar kita tahu bahwa kita telah menikah dan seseorang yang selalu bersama kita itu adalah pasangan sah kita. Dalam mengumumkan pernikahan itu, salah satu caranya adalah dengan mengadakan resepsi pernikahan. Mengundang orang banyak untuk menghadiri resepsi pernikahan yang kita buat. Namun, bukan resepsinya yang terpenting. Tetapi akad nikahnya. Akad yang mengikat seseorang menjadi suami atau istri dari pasangannya itu.
Nabi juga mengajarkan, jika anak telah meminta untuk menikah, seyogyanyalah permintaan itu disegerakan. Karena ada tiga perkara yang patut disegerakan. Ketiga perkara itu adalah menguburkan mayat, membayar hutang dan menikahkan anak. Sebab jika tidak disegerakan, bisa jadi si anak akan menikah sendiri (seperti kata ustadz almarhum Zainuddin MZ).
Urusan mahar, yang merupakan permintaan dari pihak keluarga perempuan, selalulah mencoba untuk tidak memberatkan pihak keluarga laki-laki. Dalam sebuah haditsnya, Nabi juga menekankan bahwa sebaik-baik wanita yang dinikahi adalah yang paling murah maharnya.
Tentu semua ini adalah kemudahan bagi urusan ummatnya. Namun bukan berarti dimudah-mudahkan juga sehingga setiap perkara atau urusan dianggap sepele.
Ada pesan mendalam yang selalu ibu ingatkan jika kami berbincang tentang pernikahan. Membina rumah tangga adalah seperti berlayar di tengah lautan. Jika kita pandai dalam menempuhnya, maka akan selamat sampai tujuan. Namun jika kita tidak cakap, maka akan karam di tengah lautan.
Di setiap langkah yang akan kita tempuh, menurut hemat saya, hendaknya selalu memperbarui niat. Niat juga merupakan hal penting dari suatu perkara. Perkara itu dinilai baik atau tidak di mataNya, juga dilihat dari niat yang terpancang di hati. Seyogyanyalah kita selalu menyadari, hidup ini tidak akan pernah terasa cukup jika kita hanya berlomba-lomba untuk kemegahan dunia.
Mari kita sama-sama memperbarui niat setiap saat dalam urusan yang kita kerjakan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu menyertai kita dalam ridhaNya.
Untuk yang akan menikah, selamat berbahagia. Semoga pernikahan kalian diberkahi Allah. Barakallahu laka wa baraka’alaikuma wa jam’a bainakumaa fii khairin.
Untuk yang ingin menikah dua kali, diharapkan untuk berfikir dulu, sudah bisakah berbuat adil dalam segala hal?
Semoga Allah selalu memudahkan segala urusan kita. Dan semoga Allah, tidak pernah menyerahkan segala urusan hanya berada di pundak kita sekejap matapun tanpa bantuanNya. Amin

Sabtu, 15 September 2012

Cerita Sekeping Hati

Langit mendung malam ini mengguratkan gumpalan awan tebal di wajahku.
“Tidak bisakah kesalahan itu diperbaiki?” tanyaku, lagi, untuk yang ke sekian kali di sore itu.
Dia tidak bergeming. Tidak memandangku sedikitpun.
“Hari telah sore. Sebentar lagi hujan turun. Pulanglah.” ujarnya, dan berbalik.
“Telah adakah yang menggantikanku?” tanyaku, mendesak.
“Kelak, kau akan tahu jawabannya. Jangan memaksaku sekarang. Pulanglah.”
Aku terdiam. Hujan di sore itu, semakin membasahi hatiku yang lara… *** 
Sembilan tahun yang panjang. Aku berusaha menanti, sebuah ketidakpastian yang benar-benar sangat melelahkan. Semua penantian ini, sangat tak wajar kurasa. Terlalu sering aku memintanya memutuskan hubungan tidak jelas ini. Tapi tatapan itu, sungguh tak kuasa untuk kutolak. 
“Hanya kau yang mampu mengerti aku.” Begitu selalu yang dia ucapkan.
Aku mengenalnya sejak di bangku SMP. Aku tahu dia laki-laki yang baik, sopan, dan periang. Tapi aku tidak pernah tahu, hatinya sering diliputi kegalauan, tentang seseorang yang mampu memahaminya.
Aku tidak pernah berharap menempati posisi di hatinya waktu itu. Sama sekali tidak pernah. Walau kuakui, aku menyukainya. Semua itu sanggup kusimpan dalam diam, dalam bungkam.
Diam-diam menatapnya, itu lebih dari cukup buatku. Aku tidak pernah mengharapkan lebih dari itu. Sampai perpisahan terjadi. Aku kehilangan semua kesempatan untuk menatapnya dalam diamku, yang ternyata mencemaskanku. Hingga, kesalahan itu pun terjadi, aku menyampaikan perasaanku. Hal terbodoh yang pernah kulakukan kala itu. Aku tidak berharap dia membalas perasaanku, karena bagiku, dia tahu, itu sudah cukup membuatku baik-baik saja. Tapi semua terjadi di luar dugaanku. Dia menerima hatiku. Meminta lebih dari yang kukira. Ahh, aku tidak sanggup menolak meski nuraniku mengatakan tidak. Bingung menderaku.***
“Siapa yang tidak tahu kisah Romeo dan Juliet? Sebuah kisah cinta yang begitu menakjubkan. Tapi kau pasti tidak akan mengenal Gabriella bukan? Orang-orang mengira bahwa Juliet adalah cinta pertama Romeo. Siapa mengira bahwa bukan Juliet cinta pertama dari Romeo? Juliet telah memikat hati Romeo saat Romeo memimpin pasukan ke sebuah wilayah perang, tidak lagi pernah kembali. Dan tinggallah Gabriella dalam kesendirian. Cinta pertama dengan Gabriella pun berakhir. Mengapa cinta Romeo begitu sembrono, Xin?”
Dalam kamarku yang temaram, aku tenggelam menyaksikan sebuah drama Korea berjudul Princess Hours itu. Mataku nanar mendengar dialog itu diucapkan oleh seorang wanita pada prianya yang telah memilih orang lain, dan melupakannya. Tanpa terasa, airmataku menetes, menangis dalam diam. Terkenang akan diriku yang sepertinya akan mengalami nasib seperti Gabriella. Cinta pertama yang terlupakan.
Ya, dia adalah cinta pertamaku. Dan sejak dia meminta kesediaanku untuk menunggunya kembali, aku menyimpan harapan dalam hatiku, semoga dia juga menjadi cinta terakhirku.
“Aku tidak mudah menyukai seorang perempuan. Jika kukatakan, aku menyukainya, sampai kapanpun, aku tidak akan pernah rela melepaskannya.”
Janji pertama yang dia ucapkan. Kalimat yang mampu membuatku berbunga-bunga. Aku bahkan belum mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Namun yang kutahu, tidak ada dalam hatiku hendak bermain-main dengan panah asmara itu. Jikapun aku mengiyakan, aku hanya tidak ingin dia menganggapku suka mempermainkan orang lain. Aku menyukainya. Itu kuakui. Namun menjalani hubungan yang tidak jelas itu, sebenarnya sangat tidak kuinginkan.
Tahun-tahun berlalu. Aku mulai bisa meraba hatinya. Hati yang dia katakan tidak ada yang sanggup mengerti. Hati itu, mirip sekali dengan hatiku. Hati yang tidak ingin dibagi dengan orang lain. Hati yang setia. Hati yang hanya ingin diisi oleh satu nama.
Meski hubungan ini hanya bermuara lewat udara, karena sejak itu, kami telah dipisahkan oleh jarak, dan aku menyanggupi untuk menunggunya kembali, hubungan ini bisa bertahan lama.
Aku bisa merasakan, dia berusaha teguh memegang janjinya. Tidak rela melepaskanku sampai kapanpun. Tahun yang telah terlewati juga membuatku menjadi menyayanginya. Tidak ada masalah yang berarti selama hubungan jarak jauh itu. Justru masalahnya bermula sejak kami bertemu dan berada dalam kota yang sama. ***
Kami bertemu kembali setelah masing-masing dari kami telah memasuki dunia kampus. Walau berusaha keras untuk kuredam, rindu padanya semakin hari terasa semakin menyesakkanku. Rindu dendam yang telah sekian lama dipendam terobati seketika setelah pertemuan. Ya, pertemuan yang (sebenarnya) kudamba.
Sosoknya berubah banyak di mataku. Tentu saja jauh berbeda dibandingkan saat masih umur belasan. Dia tumbuh menjadi pria tangguh, kekar, dan tampak gagah dengan lengan yang sedikit berotot. Dia menjadi pria dewasa yang menawan bagiku.
Kebersamaan itu, awalnya manis. Aku kagum padanya yang berusaha mengerti keadaanku. Tidak ada kesan memaksa dari perkataan ataupun perbuatannya. Semua itu membuatku nyaman. Pertemuan demi pertemuan bukannya membuatku tidak lagi merasakan rindu. Hebatnya, rindu itu bertambah dari hari ke hari, meski kerapkali kami bertemu.
Entah fase apalagi yang kualami saat itu. Perasaan tidak enak dahulu itu, kuakui tetap ada, tapi kenyamanan di dekatnya juga menjadikanku tidak memedulikan perasaan itu.
Kukira, semua moment itu akan lama berlangsung. Tetapi perkiraanku salah. Untuk pertemuan yang ke sekian, dia mulai membuat sebuah peraturan denganku. Peraturan yang mengekang kebebasanku. Peraturan yang dengan sendirinya ada, hanya karena sebuah celetukan yang terlontar tanpa tersadar. Membuatku harus berbuat sedikit lebih hati-hati, untuk menjaga perasaannya.
Ah, terkadang muncul anggapan dalam diriku, siapakah aku ini sebenarnya? Tidak ada ikatan sah yang membuatku harus memerhatikannya. Tapi kini, aku harus melakukan itu. Hanya untuk menjaga hatinya. Tapi hatiku?
Sebal akan semua peraturan itu, aku sering melontarkan putusan tajam ke arahnya. Baiknya, hubungan ini diakhiri saja. Ya. Aku lelah. Harus menjaga perasaan seseorang yang belum tentu akan menjadikanku pendamping hidupnya, walau ia telah berjanji. Namun janji itu, masih hanya janji antara kami berdua. Tidak ada pihak keluarga di sana. Bahkan tidak ada hukum atau norma yang kuat agar janji itu tidak diingkari. Itu hanya keinginan dua hati yang ingin bersama, kelak. Belum putusan bulat yang harus dijaga.
Dia, dengan sendu akan menatapku. “Tolong jangan pergi, aku tak bisa tanpamu.” Dan, lagi-lagi aku selalu luruh dengan wajah penuh harap itu.***
Aku sendiri bingung dengan diriku. Aku ingin, tapi tak ingin. Begitulah yang kurasa. Aku menginginkannya Ya. Tapi, aku tidak ingin menjalani hubungan seperti ini dengannya. Bagiku, baiknya berteman saja, tapi buatnya, lebih dari berteman akan menjadikannya bahagia. Hari itu, aku pun menyadari, betapa pelik urusan hati, urusan perasaan, urusan cinta terhadap pasangan.
Aku juga ingin melihatnya bahagia. Aku telah menjalani hari-hari setelah hubungan ini bermula. Tetap saja, bisikan nurani itu terus terdengar. Aku selalu merasa bersalah ketika nurani tidak jua kudengarkan. Pada akhirnya, dalam tidak sadarku, aku terlalu sering juga menyakiti perasaannya. Berkali-kali aku minta agar hubungan ini diakhiri. Dan berkali-kali pula dia menolak. Serta berkali-kali juga aku luluh dan mengalah.
Sampai pada suatu saat ketika dia mencapai titik jenuh akan permintaan itu, di kesempatan terakhir dia mengabulkan permintaanku. Awalnya, kukira aku akan baik-baik saja. Karena sesungguhnya, aku telah terlalu terbiasa dengannya. Telah sangat terbiasa dengan merindukannya, rindu yang pasti akan menghadirkannya di hadapku.
Ternyata aku salah. Aku tidak dengan serta merta merasa baik. Ada rasa bersalah yang mendera. Apakah aku keterlaluan? Apakah dia merasa aku telah mempermainkannya? Beragam pertanyaan memenuhi otakku.
“Aku telah menyukai orang lain.”
Airmataku tumpah setelah mendengarnya mengucapkan kalimat itu. Dia benar-benar mengakhiri hubungan yang telah lama terajut dalam ketidakpastian ini. Aku tak percaya dengan semua itu. Semudah inikah? Setelah sekian lama?
Meskipun aku yang meminta, pemutusan hubungan ini ternyata menyakitkan. Berhari-hari aku dirundung duka. Pedih menimbulkan luka di hatiku. Aku benar-benar tidak percaya. Aku takkan percaya sampai aku menemuinya dan dia mengatakan sendiri padaku. ***
Sore itu, di sebuah restoran, aku duduk berhadapan dengannya. Ada rasa canggung yang tiba-tiba menyergap. Sore itu berbeda, meskipun sebelumnya, aku dan dia telah terbiasa duduk berdua menikmati wisata kuliner di setiap sudut kota. Kali ini, memang berbeda dari yang biasa.
“Benarkah semua ini telah berakhir?” tanyaku setelah sekian lama kami sama-sama bungkam.
“Bukankah kau yang meminta.” Aku terdiam.
“Janji itu, masih kau ingatkah?”
Dia menghela nafas. “Aku telah melupakannya.”
Wajahku kian pias. Lahar panas serasa menjalar di pelupuk mataku. “Aku mengaku bersalah padamu. Kau pria yang baik.”
Aku menghela nafas, berat. “Masih bisakah kesalahan ini diperbaiki?” Aku menatapnya penuh harap. Seperti tatapannya dahulu. Tatapan yang selalu meluluhkan hatiku.
Dia bungkam. Mengalihkan matanya dari pandanganku.
“Tiap manusia pasti mempunyai catatan kesalahan. Bukankah sebuah kesalahan masih bisa diperbaiki?”
“Sudahlah. Aku telah melupakannya.”
“Tidak bisakah kesalahan itu diperbaiki?” tanyaku, lagi, untuk yang ke sekian kali di sore itu.
Dia bergeming. Tidak memandangku sedikitpun.
“Hari telah sore. Sebentar lagi hujan turun. Pulanglah.” ujarnya, dan berbalik. “Telah adakah yang menggantikanku?” tanyaku, mendesak.
“Kelak, kau akan tahu jawabannya. Jangan memaksaku untuk menjawabnya sekarang. Pulanglah.”
Aku terdiam.
“Telah adakah yang menggantikan posisiku?” tanyaku, lirih.
Perlahan kepala itu mengangguk. “Aku telah terlanjur menyukai orang lain.”
“Aku pernah bilang padamu, aku tidak mudah menyukai seorang perempuan.” Ujarnya lagi. “Jika aku telah menyukainya, sampai kapanpun tidak akan pernah kulepaskan. Hari ini, hatiku telah berpaling. Aku telah menyukai orang lain. Maaf.”
Aku tidak lagi ingin meneruskan percakapan itu. Pengakuannya telah cukup membuat hatiku teriris. Kukira dia berbohong, hanya ingin menakut-nakutiku. Tapi setelah mendengar pengakuan itu, kurasa tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Tidak ada kebohongan dari tatapannya, juga tidak ada gurauan dari ucapannya. Semuanya sangat jelas. Aku, telah menjadi masa lalu.
Hujan yang turun di sore itu, semakin membasahi hatiku yang lara.... ***
“Maaf, aku harus pulang.”
Aku berlari mendapati hujan. Meninggalkannya yang berteriak menahanku. Mengingatkanku agar menunggu hujan reda. Aku tidak lagi memedulikan semua itu. Rasa sakit atas sebuah pengakuan pahit membuatku tidak ingin berfikir panjang selain segera berlalu dari hadapannya.
Ahh. Jadi selama ini hanya karena tidak ada yang lain. Hanya karena baru aku yang dia kenal. Baru aku yang menjadi pelipur laranya. Setelah dia mendapati yang baru, semua itu ternyata dapat dengan mudah dilupakan.
Ternyata, aku salah. Harusnya aku lebih mendengarkan nuraniku. Harusnya aku lebih mementingkan hatiku. Lebih menjaga hatiku daripada memikirkan perasaan orang lain, yang belum tentu memikirkanku. Harusnya aku memang tidak perlu bermain api cinta, sebab aku pasti bisa terbakar dalam kobarannya. Harusnya aku.... ***
Langit mendung malam ini mengguratkan gumpalan awan tebal di wajahku.
Telah kemana cinta itu pergi? Tidakkah berarti semua penantian ini? Mengapa kau begitu tega? Beginikah akhir dari penantian panjang ini? Jika harus berakhir seperti ini, aku tidak ingin pernah bangun dari mimpi panjang tentang pertemuan indah denganmu. Aku ingin terus berada di dunia mimpi agar aku tidak perlu tahu betapa menyedihkan kenyataan yang kuhadapi hari ini. Benarkah kesalahan itu tidak lagi dapat diperbaiki hingga posisiku benar-benar telah terganti? Aku tidak pernah memberi tempat terindah ini buat orang lain selain dirimu. Tidak sedikitpun. Tapi, biarlah. Biarlah kuterima semua itu. Biarlah aku pergi. Membawa duka ini. Membawa hati yang kini tersakiti. Aku rela meskipun kau benar-benar harus pergi dari hatiku.
Meski penantian ini, tidak berakhir manis, darinya aku banyak belajar. Tentang sebuah keikhlasan. Ikhlas melepaskan kepergiannya, mampu membuatku lebih tegar. Tentang kata mencintai. Aku tidak boleh terlalu mencintai seorang insan, aku tidak boleh berharap banyak pada insan sebab nantinya kecewa lah yang kutemui.
Aku menyadari sekarang, bukan kartena lamanya bilangan yang telah terlewat akan menjadikan hubungan semakin kuat. Ada yang lebih penting dari itu. Pondasi atas hubungan yang dibina. Jika pondasinya tidak kuat, tentu akan roboh juga.
Mungkin dia memang bukan yang terbaik untukku. Mungkin Tuhan punya rencana lain yang lebih indah buatku. Atau mungkin Tuhan ingin mengingatkanku agar tidak menyiakan nurani, agar lebih tegas dalam masalah hati. Dia ingin agar urusan hatiku, selalu kuserahkan padaNya, sebab Dia lah yang punya kuasa penuh untuk membolak-baliknya.
Hati, meski kita merasa memiliki, sesungguhnya bukan milik kita seutuhnya. Tidak ingin lagi kusia-siakan hatiku. Biarlah kujaga tanpa harus disentuh lagi, sampai Tuhan mengirimkan seseorang untuk menjemputnya dalam bingkai yang Dia restui. Pada watu dan saat yang indah...
Bila yang tertulis olehNya engkau yang terpilih untukku 
Telah terbuka hati ini menyambut cintamu.... 
 Padangsidimpuan, 17 sept 2012

Rabu, 12 September 2012

Kaka Kecil dari Sudut Kota

Suara itu tidak asing terdengar di telingaku. Mungil, penuh semangat dan berteriak lantang. “Tendangan Macan Ngamuk” sebutnya meniru ucapan dari pemain kesayangannya dari sebuah sinetron di salah satu stasiun TV swasta tentang kegiatan anak-anak yang menyukai bola. Suara mungilnya berasal dari lapangan di depan rumah. Kuperhatikan dia dari dalam rumah. Dia sedang memasang kuda-kuda, bersiap hendak menyepak bola yang ukurannya jauh lebih besar dari bentuk kaki kecilnya. Mata beningnya menatap tajam ke lawan mainnya, tangannya menyilang berbentuk X yang kemudian dia lepaskan ke sisi kanan kirinya dan kaki itu bergerak cepat menendang benda bundar berwarna putih memudar di hadapannya yang melesat kencang melampaui penjaga gawang. Kiper berbaju coklat, bermata bulat dan berbadan lebih besar darinya mencoba menangkap bola yang melaju pesat ke arahnya. Wuss. Dia hanya menangkap angin dan bola tersebut jatuh ke dalam gawang yang dijaganya. 
“Gooool. Lima kosong.” seru si bocah berumur tiga tahun yang tadi menendang bola dengan riang sembari berputa-putar mengitari tempat dia berdiri dengan sorot mata senang luar biasa.
Anak di depannya menggaruk-garuk kepalanya. “Kan baru satu kosong, Rago. Kenapa bilang lima kosong?” seru Hiro sedikit kesal melihat tingkah Rago.
“Oh, satu kosooong.” Rago membulatkan bibirnya dan menatap jenaka pada Hiro.
Aku tersenyum melihat reaksi Rago, keponakanku. Dia selalu mengatakan lima kosong jika berhasil memasukkan bola ke gawang lawan meskipun itu untuk yang pertama kali. Refleks dia menyebutkan angka itu meskipun dia belum mengenal angka dengan baik.
Aku kagum melihat tendangannya. Anak sekecil itu mampu menendang bola dengan sangat keras tanpa merasa kesakitan sedikitpun. Aku jadi teringat sebuah video dari acara On The Spot tentang seorang bayi berumur sekitar satu tahun yang telah menandatangani sebuah kontrak dengan klub terkenal karena kelihaiannya berkali-kali memasukkan bola ke dalam sebuah kotak tanpa pernah terpeleset sekalipun. Atau seorang anak berusia lebih kurang tujuh tahun telah direkrut menjadi pemain Nasional karena kepandaiannya memainkan bola tanpa pernah terjatuh dari kakinya sampai permainan itu dia hentikan. “Anak-anak ajaib” fikirku.
Rago memang sangat menyukai bola. Sejak dia pandai berdiri dan mengenal bola, dia sangat tertarik untuk memainkannya. Bola dengan berbagai ukuran mampu dia kuasai dengan baik. Tendangannya itu, memukau dalam pandanganku. Pernah suatu kali, bola yang ada di rumah adalah bola kecil dari bahan plastik. Dia melemparkan bola itu ke udara dan secepat kilat kakinya menangkap gerakan bola tersebut dan menendangnya tepat ke sudut rumah. Bola kecil itu seperti telah dihipnotis agar jatuh tepat dia atas kaki mungilnya yang kemudian terpental ke sudut rumah. Hebat. Batinku.
Jika dia ada, seluruh rumah disulapnya menjadi lapangan hijau itu. Semua orang rumah, tidak ada yang kuasa menolak jika dia meminta untuk menemaninya bermain bola. Meskipun meja dan kursi yang ada di ruang tamu membentang besar di hadapannya, dia tidak akan surut karena halangan itu. Dia malah menyuruh untuk menyingkirkannya dengan menyusunnya melekat ke dinding rumah agar dia leluasa bermain. Begitu banyak ide yang dia munculkan agar keinginannya tersebut terpenuhi.
“Gesel la Bou mejanya. Lago mau main bola.” rengeknya padaku yang berpura-pura enggan melakukannya. Bou adalah panggilannya untukku karena aku merupakan adik perempuan ayahnya. Rago adalah anak pertama abangku.
“Rago harus mencium pipi Bou dulu. Baru Bou mau.” “Ah, Lago nggak mau. Bou bau.”
“Ya, sudah. Nggak mau Bou gesernya.”
“Mau la.” pintanya, kekeuh.
Suara cadelnya membuatku tidak tahan ingin menimpukinya dengan ciumanku. Kucium pipinya beberapa kali dengan gemesnya. Sampai-sampai pipinya terlihat penyot karena ulahku. Dia hanya tertawa. Setelah puas, baru aku memenuhi permintaannya. Dia tersenyum senang.
“Bilang apa sama Bou?”
“Makacih Bou.” ujarnya.
Setelah aku meminggirkan benda-benda tersebut, aku berlalu darinya.
“Bou mau kemana?”
“Bou mau memasak makan malam Rago dulu.”
“Nggak usahlah masak Bou. Main aja la kita.”
Aku tertawa mendengar permintaannya. “Rago main sama Uda Rizal aja ya. Tunggu sebentar, biar Bou panggil Uda Rizal.”
“Lago itut manggil Uda Lizal.” Rago mengikutiku dengan langkah imutnya. Uda adalah panggilan untuk saudara laki-laki ayah.
“Rizaaal….” teriakku.
“Lizaaal….” dia meniruku.
“Uda Rizaaal….” aku membetulkan ucapanku. Aku tersadar, anak-anak sangat suka meniru yang kita lakukan. Jika berada di sampingnya kudu hati-hati mengeluarkan kata-kata. Sangat berbahaya jika dia mendnegar perkataan yang kurang baik. Bisa-bisa ditirukannya berulang-ulang. Kan bahaya?
“Uda Lizaaal…” panggilnya kemudian.
Celoteh-celoteh ringannya dan teriakan-teriakan senangnya masih mampir di telingaku selama dia bermain di lapangan bola buatan berukuran 10 x 4,5 meter itu.
Meskipun telah seharian bermain, tidak tampak lelah di wajahnya. Sampai malam, dia masih sanggup berlari-lari, masih sanggup terus bermain bola. Permainannya itu terhenti hanya karena haus, atau lapar, atau mandi, atau telah menonton acara kesayangannya, atau telah tidur. Terkadang agar dia tertidur lelap, dia harus tidur ditemani bola kesayangannya.
“Rago, tendangan si Madun.” ucap Rizal mengingatkannya akan siaran kesenangannya itu. Rago pun bersegera duduk manis di depan televisi, tanpa melupakan bolanya. Saat soundtrack dari sinetron itu diputar, dia pun akan ikut bernyanyi riang.
Indonesia…. 
Indonesia… 
Itu namaku tanah airku 
Nomongin bola, Lago jagonya
Kalo nggak pelcaya, liat aje 
Dia bernyanyi penuh semangat dengan lirik sedikit meleset dari aslinya, terkadang tidak jelas yang disebutkannya. Matanya tidak akan berkedip dari tayangan itu. Dia sepertinya sedang merekam setiap kejadian yang dilihatnya dalam memorinya. Begitu jeda tayang, dia akan berdiri dan menyiapkan bolanya. Maka dia akan menyebutkan salah satu jurus yang baru saja didengarnya dan memperagakan sebuah tendangan seperti gaya salah satu pemeran yang baru saja dilihatnya.
“Tendangan asal-asalan.” ucapnya menirukan pemeran berbadan tambun dalam sinetron itu. Meskipun tendangan tersebut dimaksudkan asal-asalan, namun tetap mengenai sasaran. Maka bola yang ditendangnya akan nyasar di kolong meja. Dia tersenyum setelah melakukan tendangan itu dan menatap kami satu persatu. Tatapan dan tingkahnya itu membuat kami serempak tertawa dan dia pun ikut tertawa bersama kami dengan menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya pertanda malu. Ciuman pun bertubi-tubi mengenai pipi mungilnya yang menyiratkan kesenangan tidak terhingga itu….

Sejumput asa di balik derita

“Kamu masih belum mengerti yang Bapak maksudkan?” tanya pria separuh baya yang menjadi dosen pembimbingku itu dengan nada mulai kesal. Selama beberapa perkuliahan, aku telah mengenal pribadi dari sosok tersebut, berjiwa fair, tidak gampang marah, dan selalu bersikap positif. Tetapi, melihat kedunguanku, kesabarannya menipis.
“Jika setelah bimbingan hari ini, kamu masih belum juga mengerti, aku akan mengundurkan diri menjadi dosen pembimbing buatmu. Mungkin aku yang tidak berhasil membimbingmu sehingga sampai hari ini, kamu belum juga tahu harus menuliskan apa? Harus membahas apa? Harus membuat skripsimu ini menjadi seperti apa? Kamu harus ingat target yang telah kamu buat. Kalau bagi saya, tidak masalah mau sampai kapanpun kamu di universitas ini. tapi fikirkan orangtuamu. Orangtua yang membiayaimu.” ucapnya menutup bimbingan hari itu.
Ya. Ucapan dosenku itu memang benar. Aku yang ingin segera wisuda di awal bulan Agustus 2009 ini. Tiga bulan yang kurencanakan untuk menindaklanjuti proposalku menjadi skripsi belum berjalan sempurna. Bulan kedua telah mulai habis, sementara aku masih tertatih-tatih mengenai pembahasan skripsi yang kubuat sendiri. Airmataku mulai menitik. Kenapa kali ini begitu bodoh sampai dosen pembimbingku merasa harus mengundurkan diri? ***
Skripsi adalah momok bagi mahasiswa. Itu yang kubaca pada sebuah buku pedoman menulis skripsi yang direkomendasikan oleh dosen mata kuliah seminar bahasa dan sastra. Hal itu berlaku juga bagiku, seorang mahasiswa yang jarang sekali menulis dan melakukan penelitian. Tetapi, aku juga menemukan hal baik lain dari buku itu yang menyebutkan bahwa mahasiswa tidak perlu takut dengan yang namanya skripsi. Skripsi adalah sebuah latihan untuk mahasiswa melakukan penelitian yang sesungguhnya.
Sebenarnya aku masih terbata-bata saat judul proposal yang kuajukan diterima pihak jurusan. Aku belum terlalu mengerti hendak meneliti apa. Namun kemudian, kuyakinkan diriku, sembari belajar, sembari berjalan, aku pasti mulai mengerti seluk beluk penelitianku nanti.
Ketika menyusun draft proposal dari latar belakang hingga rumusan masalah, aku masih dengan lancar bisa menganalisanya. Tetapi saat berjibaku dengan teori, aku mulai linglung. Apa maksud teori di sini? Telah berulangkali dosen pembimbingku menjelaskan. Berulangkali juga aku mengangguk mengerti saat dia jelaskan, namun segera buyar saat aku akan menuliskannya dan mencari bahan yang kuinginkan. Literatur-literatur berkenaan dengan bahasa Arab, jurusanku, sangat langka kutemukan. Aku tidak membahas perihal yang telah sering muncul dalam skripsi senior-seniorku. Membahas tentang fi’il (predikat), fa’il (subyek) atau maf’ul bih (objek) hanya dengan objek suroh yang berbeda namun menggunakan teori yang sama. Ada 114 suroh dalam Al-Quran. Dan akan ada 114 judul skripsi yang bisa diajukan meskipun teori yang dipergunakan sama, dari orang yang sama. (Dalam bahasa Arab, terkadang subyek atau pelaku suatu pekerjaan tidak langsung kita temukan dalam kalimat tersebut, tetapi subyek berada pada kalimat lain. Permasalahan seperti itu banyak ditemui dalam Al-Qur’an sehingga meskipun dengan judul yang sama, para peneliti masih tertarik untuk membahasnya. Itulah salah satu keunikan bahasa Arab). Aku ingin yang sedikit berbeda. Setidaknya, perbedaan itu menambah nilai plus dalam penelitianku. Itu yang ada dalam fikiranku. Tetapi, aku melupakan masalah yang mungkin bisa menghambatku segera menyelesaikan skripsiku tersebut. Perihal teori yang sering menjadi kebingungan buat mahasiswa yang masih begitu awam, sepertiku saat itu.
Akhirnya, kutemukan juga teori yang akan membahas objek penelitianku walaupun aku harus terseok-seok. Seminar proposal untuk judulku pun digelar. April 2009. Aku lupa tanggalnya. Presentasi proposalku berjalan mulus. Ketua jurusan yang merupakan salah satu pengujiku mengatakan bahwa jarang mahasiswa yang berani menampilkan permasalahan seperti yang kuajukan. “Objek penelitianmu ini merupakan salah satu bukti keadilan pada masa Rasulullah. Silahkan lanjutkan penelitianmu dan kerjakan skripsimu dengan sempurna. Jangan mengecewakan kami.” begitu kira-kira isi pesan yang dia sampaikan di sesi terakhir seminar proposalku.
Aku gembira mendengar komentar ketua jurusan tersebut. Aku semakin semangat melanjutkan penelitianku. Penelitian yang kulakukan adalah penelitian kepustakaan atau bahasa kerennya library research bukan penelitian lapangan sebab itu tidak bisa kulakukan. Permasalahan yang coba kubahas adalah benda saksi sejarah 14 abad silam, pengaruhnya pada masa itu. Aku tidak mungkin kembali pada masa silam karena masa silam adalah masa yang sangat jauh, tidak akan mungkin bisa diulangi. Aku hanya melakukan literasi dari buku-buku. mencari perhubungan dari sumber yang satu dengan sumber yang lain. Beberapa sumber yang kudapat tidak pernah bertentangan. Masih menyebutkan hal serupa. Oleh karena itu, kusimpulkan buku-buku tersebut bisa dijadikan sumber acuan untuk penelitianku.
Bab I bisa kuselesaikan dengan baik. Ketika memasuki bab II, masalah mulai muncul. Aku tersandung dengan teori yang bisa membahas tentang objek penelitianku. Pada seminar proposal, aku telah mempunyai gambaran tentang penelitian lanjutan dari skripsiku. Tetapi saat menuliskan bab yang berisi tentang teori pembahasan, aku mulai kelimpungan. Kucoba tetap bertahan pada teori yang kubuat pada proposal. Semakin kupertahankan, isinya semakin semrawut dan tidak jelas arah tujuannya. Aku mulai panik. Waktu terus berjalan. Waktu wisuda semakin dekat. Tetapi permasalahannya belum kunjung menemukan solusi. Sampai akhirnya dosen pembimbingku mengeluarkan kata-kata yang membuatku semakin frustasi. Kenapa ketololan ini berlanjut?
Aku mengutuk diriku atas kejadian tersebut. Aku tentu tidak mau hal itu terjadi. Bukannya menyelesaikan persoalan, hal itu tentu akan menambah runyam dan menjadikan penelitianku yang telah berjalan setengah semakin lama karena ketidaksamaan visi. Hal itu juga tentu akan memperburuk citraku di mata para dosen.
Frustasi yang kurasa membuatku diam. Diam. Tidak menyentuh skripsiku. Bahkan memikirkannya pun aku enggan. Sampai beberapa hari, aku keluar dari zona bernama skripsi. Setelah aku merasa cukup untuk menenangkan diri, aku mencoba membaca ulang proposal, draft skripsi dan buku-buku yang menjadi bahan acuanku. Aku sudah pasrah tidak mengikuti wisuda yang akan berlangsung tiga hari lagi. Kuikhlaskan diriku. Mungkin ini jalan terbaik. Mungkin ada hikmah yang bisa kupetik, mekipun aku belum tahu sekarang. Nanti pasti kutemukan jawabannya.
Di sela-sela membaca buku-buku tersebut aku menemukan ide. Ide yang sedikit bertentangan dengan isi proposalku. Setelah merevisi ulang bab II skripsiku, aku beranikan diri untuk janji bertemu dosen pembimbingku buat bimbingan lanjutan. Dia menanyakan, apakah aku benar-benar menemukan jawabannya? Insya Allah Pak. Jawabku, setengah tak yakin.
Di hari wisuda yang tak menjadi milikku, aku sedang mendiskusikan jalan keluar untuk menyelamatkan skripsiku yang meregang nyawa. Setelah kutunjukkan hasil penemuanku, dosen pembimbingku menyetujuinya meskipun untuk itu aku harus merevisi ulang skripsiku dari bab pertama. Dia berjanji akan membantuku jika pada saat ujian aku terbentur masalah karena perubahan ini. kuucap syukur pada Sang Kuasa karena telah membukakan pintu hatiku juga pintu hati dosen pembimbingku yang begitu baik hati.
Selesai bimbingan, aku menyempatkan menghadiri wisuda beberapa teman meskipun aku merasa kegalauan yang mengganjal di hatiku. Saat melihat mereka keluar dari auditorium dengan toga yang menjadi kebanggan itu, airmataku menitik, menitik ke dalam lubuk hatiku. Ada sesal yang mendera. Ada duka yang menyergap. Harusnya aku ikut berpakaian sama dengan mereka. Tuhan tentu sangat tahu isi hatiku. Di saat hatiku begitu hancur bak kapal karam, aku menerima pesan singkat dari ibu. Bou Hafni, kapan pulang? Bou adalah panggilan untuk saudara perempuan ayah. Mengapa ibu menyebut aku dengan Bou? Beberapa saat aku termenung. Akhirnya aku terlonjak kegirangan. Keponakanku telah lahir. Subhanallah. Ternyata keponakanku yang tidak mengizinkanku untuk wisuda hari ini. Dia akan mendatangi bumi ini di hari wisuda yang ditetapkan oleh universitas tempatku mengecap pendidikan. Subhanallah. Maha suci Allah. Inilah hikmah yang kudapat dari musibah yang menimpaku kala itu. Seandainya aku turut berpakaian toga seperti mereka yang anniversary hari ini, tentunya ibu akan berada di sampingku. Siapa yang akan membantu persalinan kakak iparku? Siapa yang akan mengurus keponakanku setelah kelahirannya saat ibunya masih begitu lemah? Subhanallah.
SMS dari ibu membuatku kembali semangat. Semangat mengerjakan skripsiku agar aku bisa pulang dan menemui keponakanku yang telah mengobati sakit hatiku.
Setelah menemui jawaban dari persoalanku, aku kembali dengan tekun mengerjakan bab demi bab skripsiku. Telah hampir selesai seluruh bab kukerjakan. Aku tinggal mengedit dan meminta tanda tangan dosen pembimbing ketika aku terbentur masalah, lagi. Aku harus ikut registrasi untuk semester berikutnya. Sementara aku tinggal mendaftar untuk sidang. Registrasi berarti membayar SPP lagi. Meskipun SPP kami tidak termasuk mahal, tetapi bagiku dengan keuangan pas-pasan, uang tersebut masih sangat berarti. Hanya karena aku sedikit terlambat, haruskah aku membayar SPP lagi? Adakah keringanan buat mahasiswa dengan problema sepertiku?
Aku berupaya mencari informasi tentang keringanan tersebut. Ternyata ada dan aku tidak sendirian. Urusannya sedikit rumit. Aku harus bolak-balik ke kampus hanya untuk memastikan surat dari jurusan keluar yang menyatakan bahwa aku tinggal menunggu sidang. Belum lagi tanda tangan ketua jurusan yang tidak segera bisa kudapat karena kehadirannya yang jarang di kampus disebabkan kesibukannya di luar kampus. Aku terus menyabarkan diriku. Aku yang membutuhkan mereka. Aku harus lebih banyak bersabar meskipun diperlakukan seperti ayam panggang, dibolak-balik hingga terkadang gosong.
Dengan kesabaran luar biasa, aku mendapat keringanan tersebut dan tidak perlu membayar SPP untuk semester berikutnya walaupun aku wisuda setelah masuk semester selanjutnya. Alhamdulillah. Terimakasih Allah, Engkau masih menolongku.
Aku sidang bertepatan di bulan Ramadhan. Aku diuji di ruangan sidang dan shaumku juga diuji di ruangan yang sama. Sebelum memasuki ruangan sidang, jantungku berdetak tak menentu. Kutenangkan hatiku dengan doa-doa untuk melapangkan hati, dengan bacaan Al-Fatihah dan Al-Insyirah. Semoga Tuhan memberiku kelapangan. Kuberitahu juga ibu bahwa giliranku akan segera tiba. Aku memohon doa darinya, doa mustajab dari seorang ibu.
Saat namaku dipanggil untuk memasuki ruangan sidang, dadaku bergemuruh semakin kencang. Kutatap wajah-wajah dosen pengujiku. Kulihat mereka tersenyum dan menyuruhku mempresentasikan hasil penelitian skripsiku. Dengan membaca basmalah, kumulai presentasiku. Ajaib, sepersekian detik kemudian, rasa takut itu hilang. Berganti kelancaran dalam mempresentasikan skripsiku. Pada sesi tanya jawab, aku juga bisa menjawabnya dengan tenang. Ketika seorang dosen penguji menanyakan perubahan pada skripsiku yang tidak ada dalam proposalku, aku terdiam sejenak. Haruskah mengatakan yang sesungguhnya? Dalam berfikir demikian, dosen pembimbingku berujar dan mengatakan bahwa hal itu atas rekomendasi darinya. Dosen lain mengangguk. Tidak ada yang mempersoalkannya. Alhamdulillah. Sampai akhir sidang, aku masih sanggup menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Alhamdulillah.
Aku lulus dengan hasil yang memuaskan dan siang itu aku resmi bergelar sarjana sastra. Setiap perjuangan pasti akan membuahkan hasil. Awalnya, aku menyangka penulisan skripsiku akan berjalan dengan mulus. Tidak akan ada cerita sedih seperti kisah teman-teman lain yang mendapatkan dosen pembimbing killer, atau susah ditemui, atau karakternya jauh berbeda dengan dosen pembimbingku. Aku mengambil hikmah dari peristiwa tersebut bahwa perjuangan itu akan lebih terasa jika rintangan yang dihadapi bisa dilewati dengan baik. Tidak dinamakan perjuangan jika tidak menemui rintangan.
Pada 26 Oktober 2009 aku mengikuti wisuda periode berikutnya. Alhamdulillah. Aku semakin yakin dengan keadilan Tuhan. Betapa dia tidak pernah menzhalimi hambaNya dan hanya menyerahkan urusan yang sanggup untuk dipikul hambaNya. Sesungguhnya di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Inna ma’al ‘usri yusro….

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...