Kamis, 16 Juni 2011

Membaca itu mengasyikkan


“Buku adalah jendela dunia.” Kalimat pertama yang kucerna hari ini lewat untaian kata yang disusun oleh Pak Amanan, guru Bahasa Indonesiaku.” Berbagai negara bisa kita jelajahi lewat buku. Petualangan yang seru bisa kita dapatkan melalui buku. Buku menawarkan beragam hal, beragam ilmu pengetahuan. Anak-anakku, jika kalian ingin menjadi apa saja yang kalian lakukan banyak-banyaklah membaca buku. Reguklah beragam ilmu yang telah tertuang dalam buku.”
“Pak, apa hanya itu saja yang bisa kita peroleh lewat buku?” Seorang anak bertanya. “Saya tidak terlalu suka membaca. Bagi saya buku itu membosankan, sangat membosankan. Apalagi buku yang jumlah halamannya sangat tebal, tidak berwarna, dan tidak bergambar. Buku seperti itu, bagi saya hanya dongeng pengantar tidur. Jika saya sedang sangat sulit untuk memejamkan mata, saya akan mengambil buku. Melihatnya saja, otak saya segera memerintah mata untuk terlelap. Pada awalnya, saya memang membacanya. Tapi sejurus kemudian buku itulah yang membaca saya. Begitulah makna buku bagi saya, selama ini.” Ucapnya yang saya aminkan dalam hati.
Pak Amanan, guru penuh senyuman yang pernah saya kenal. Seperti apapun sikap kami, dia tidak akan pernah marah. Senyum itu tetap tersungging di bibirnya.
“Maukah kalian Bapak bacakan syair seorang pujangga Arab tentang nikmatnya membaca buku?”
Cara dia mencuri perhatian kami. Bahasa Indonesia bagi kami adalah pelajaran yang kurang diminati. Kebanyakan siswa mengatakan, terlalu mudah, tidak ada tantangan dan cengeng. Sebagian besar teman-teman di kelas, setau saya, sedari tadi tidak terlalu memperhatikan pelajaran yang dia sampaikan.
Penyair Arab, sangat menarik perhatian kami. Bukan karena kami menyukai karya mereka. Bukan karena itu. Alasan satu-satunya adalah tugas yang diberikan oleh guru bahasa Arab yang terkenal sangat garang dan rajin memberi tugas, mencari karya para penyair Arab.
“Buku adalah sebaik-baik teman ngobrol di kala sepi” dia mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Seluruh mata sekarang telah tertuju pada Pak Amanan.
“Buku adalah teman tempatmu berbagi cerita, tempat mencurahkan isi hati”. Seluruh kelas telah dalam genggamannya saat bait kedua dibacakan.
“Buku adalah teman yang tidak pernah mempermainkanmu, teman yang tidak munafik, dan teman yang tidak akan pernah dusta.” Pak Amanan mengakhiri puisinya dengan gemilang.
Bunyi bel mengakhiri pelajaran hari ini. Pak Amanan telah berhasil mengambil hati kami.
Mencintai buku. Inti pelajaran hari ini. Namun menurutku, mencintai buku sama artinya dengan mencintai membaca. Membaca apa saja. Meskipun membaca lebih diidentikkan dengan membaca buku. Karena itu, buku sama dengan membaca.
Namun entah kenapa, selalu ada rasa enggan ketika harus membuka lembar demi lembar buku, membaca paragraf demi paragraf dan menuntaskannya. Aku lebih memilih menonton film-film kesukaanku atau online beberapa jam daripada membaca sebuah buku. Seperti ada syndrome yang menuntun otakku untuk menghindari segala kegiatan yang ada hubungannya dengan membaca. Sungguh ironis.
“Hai, melamun saja….” Sapa Aulia, siswa berprestasi yang selalu menggondol juara setiap tahun dan tidak pernah ada yang bisa menyainginya. “Apa yang dimakan anak ini?” pertanyaan yang selalu terlintas dalam otakku ketika melihatnya.
“Hai. Aku sedang memikirkan sesuatu.”
“Tumben si ganteng kita sedang berfikir. Biasanya juga sudah nongkrong di kantin dan mengganggu teman-teman cewek, iya kan?” sambil mengerlingkan matanya ke arahku.
“Aku sedang berfikir saja. Telah banyak habis waktuku terbuang percuma. Dan aku baru menyadarinya. Sudah berapa tahun aku mengecap pendidikan, namun ilmu yang kuperoleh belum apa-apa dibandingkan waktu yang kugunakan selama proses pendidikan. Waktu belajarku hanyalah saat ujian sudah di depan mata.”
“Tadi pagi, pertemuan dengan Pak Amanan telah mengusik fikiranku. Kami sedang membahas pentingnya buku. Lebih tepatnya, mencintai buku. Pak Amanan mengatakan bahwa buku adalah sebaik-baik teman ngobrol di kala sepi. Kalimat yang dia kutip dari seorang pujangga Arab.”
“Membaca itu, penting gak sih?” tanyaku pada Aulia.
“Kalo aku yang kau tanya, membaca bagiku bukan sebuah kepentingan, tapi kebutuhan. Seperti makan. Jika sehari tidak membaca, aku akan sangat kelaparan dan harus segera dipenuhi. Sebab kalo tidak, tau sendiri kan? Fatal akibatnya.”
“Waw, dahsyat tuh. Kenapa kau bisa ketagihan seperti itu?”
“Panjang ceritanya. Eh, udah bel tuh. Nanti kita sambung lagi ya. Pulang sekolah, bareng aku aja. Penting untuk kau tau, membaca itu mengasyikkan. Sangat mengasyikkan, malah. Aku duluan ya fren.”
Membaca itu mengasyikkan. Benarkah?
“Ayo masuk. Anggap saja rumah sendiri ya….”
Aku terpana melihat suasana rumah Aulia. Setiap sudut rumahnya, aku menemukan tumpukan buku yang tersusun rapi. Ketika memasuki kamarnya, koleksi buku yang dia miliki, membuatku ternganga.
“Ini semua bukumu?”
“Ya. Hanya ada beberapa yang kupinjam dari perpustakaan, seperti tumpukan buku yang ada di atas meja belajar ini.” jelasnya. “Kamu tau Ry, semua orang hebat di dunia ini, sangat gemar membaca.” lanjutnya.
“Oh ya?” tanyaku penuh ingin tahu.
“Ya, sebut saja Bung Karno, orang pertama di Negara kita ini. Dia dikenal sebagai singa podium. Kata-katanya yang membakar semangat. Orasinya menggebu-gebu. Dia bisa seperti itu, salah satunya dengan banyak membaca, sehingga kosa kata yang dia miliki bertambah seiring dengan berjalannya waktu.”
“Andrea Hirata. Panggilan akrabnya Ikal. Tidak pernah dikenal sebelumnya dalam media massa. Namun sekali dia meluncurkan buku, karyanya tersebut telah mendapat tempat di hati pembacanya. Menjadi best seller. Dia dijuluki seniman kata-kata. Membaca karyanya, akan kita temukan beragam kata untuk menunjukkan makna yang sama. Kita seperti membuka kamus lengkap yang tidak monoton. Ikal sendiri haus akan banyak ilmu. Dia adalah master ekonomi, yang mencintai fisika, kimia, biologi, matematika dan juga sastra. Sehingga karya-karya yang dia hasilkan sangat berbobot. Kamu kenal kedua orang itu kan?” Aulia menatapku.
“Tentu saja. Soekarno, Presiden pertama kita, dan Ikal pengarang laskar pelangi yang digandrungi oleh semua kalangan.” Jawabku mantap. “Oh ya, aku boleh melihat-lihat koleksimu kan?” aku menjajari rak buku kepunyaannya.
“Baca juga boleh kok Ry. Eh, aku tinggal bentar ya?”
“Oke.”
Buku-bukunya itu telah disusun dengan rapi sesuai dengan jenisnya. Rupanya dia mempelajari cara mengkatalogkan buku. Ada sekitar tiga ratusan. Aku berdecak kagum. Ada science, komputer, majalah dan koran juga banyak. Di dereten buku-bukunya, aku juga melihat karya sastra dari pengarang-pengarang terkenal. Aku mengambil sebuah dari deretan ini. Harry Potter. Novel yang kupilih. J.K Rowling, sang pengarang sangat lihai membuat kalimat-kalimat panjang dalam deskripsinya untuk menjelaskan lokasi sekolah sihir dan juga karakter para tokohnya tanpa mengurangi keindahan . Jarang orang bisa melakukan hal itu. Hebat.
Beberapa jam di rumah Aulia, aku belajar banyak hal. Seperti yang dia katakan, membaca itu mengasyikkan. Untuk menumbuhkan minat membaca, aku hanya perlu motivasi yang jelas dalam diriku tentang tujuanku membaca. Seharusnya, bukan karena besok ujian, baru aku mulai membaca. Aku jadi geleng-geleng sendiri mengingat tingkahku.
Membaca itu hanya perlu pembiasaan, begitu dijelaskannya padaku. Jika sudah ada motivasi dalam diri untuk membaca, yang dilakukan selanjutnya adalah membuat target membaca. Buku apa yang harus dibaca hari ini. Berapa buku yang harus dibaca dalam rentang waktu seminggu? Target membaca yang telah dibuat dengan sendirinya akan memantapkan motivasi kita. Dengan menetapkan target membaca, maka kita berusaha membentuk kebiasaan membaca. Harus ada komitmen kuat dalam diri kita untuk mematuhi target membaca yang telah kita canangkan.
Aku ingat, ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Quran adalah tentang membaca. Pastinya Allah punya rencana yang indah tentang perintah pertama yang ada dalam Al-Quran, membaca.
“Hmm…. Motivasi. Aku harus menemukan motivasiku.” Fikirku dalam diam. “Aha” aku menjentikkan jari. Sebuah ide terlintas dalam benakku. Jika dalam film kartun, akan terlihat sebuah lampu yang terang benderang di atas kepalaku.
“Tak ada yang tak mungkin di dunia ini, jika terus berusaha. Aku pasti bisa!” Tekadku.
Sehelai daun jatuh ke bumi, tepat di depanku berdiri. Tidak seperti biasanya, hari ini begitu menegangkan bagiku.
“Tegang banget Ry.” Tiba-tiba Aulia sudah ada di sampingku. “Kudengar kau semakin giat belajar akhir-akhir ini. Buku menjadi sahabat baikmu. Hebat kamu Ry. Aku sangat senang melihat perubahanmu.” Tatapnya bangga terhadapku.
“Kena virus darimu, Sob. Thanks ya.” Kutatap dia dalam-dalam.
“Andai kau tahu motivasi terbesarku saat ini, kau pasti sangat terkejut. Aku ingin mengalahkanmu, Sob. Tapi hal ini tidak akan kuceritakan sebelum aku tahu hasilnya. Karena itu aku sangat tegang.” Batinku.
“Di awal tahun ajaran ini, ada berita yang cukup menggembirakan.” Suara yang kudengar dari speaker sekolah. Sangat akrab. Suara Pak Sufi. Guru yang bertugas membacakan nama-nama siswa berprestasi setiap semesternya. “Ada seorang siswa yang melonjak prestasinya.”
“Yang dimaksud Pak Sufi, pasti kamu Ry.” Bisik Aulia.
“Juara dua umum semester ini adalah Ary Perdana Kusuma dari kelas II.1”
“Selamat ya Ry” Aulia menyalamiku. Aku tersenyum, namun pahit. “Aku masih ketinggalan satu langkah darimu.” Geramku. Aku segera beranjak dari tempatku. Aku yakin setelah namaku disebut, Pak Sufi akan memanggil nama lengkapnya.
Usai penerimaan raport, kucari dirinya.
“Aulia….” Panggilku sambil melambaikan tangan. “Pulang bareng yuk.”
“Oke.” Dia melangkah ke arahku. “Selamat datang di dunia intelektual, Sob. Prestasimu sungguh mencengangkan.”
“Terima kasih ya.”
“Lho kok ngucap terima kasih segala?”
“Kamu masih ingat percakapan kita dulu, motivasi membaca?’ kulihat dia dan dia mengangguk. “Kamu tahu, motivasiku hingga bisa seperti ini, karena kamu. Aku ingin mengalahkanmu, menggantikanmu di posisi pertama.”
“Wah, keren tuh. Gak nyangka, kamu ternyata sangat dendam padaku.” Tertawa lebar.
“Kenapa kamu gak marah?”
“Buat apa? Aku malah senang ada yang menjadikanku motivasi untuk menggapai tujuannya. Itu artinya dia sangat menghargai aku. Aku juga tidak terlalu peduli dengan gelar juara. Karena jauh sebelum gelar-gelar prestise ini kuperoleh, aku telah mendapat hadiah yang sesungguhnya. Cinta membaca, cinta buku, dan cinta ilmu. Itu semua jauh lebih berharga bagiku. Gelar juara yang kuperoleh tiap tahunnya di sekolah ini, hitung-hitung bonus la…. “ ringan.
“Jadi begitu seharusnya?” Sekali lagi dia mengangguk. “Aku salah selama ini?”
“Tidak ada yang mengatakan kamu salah, termasuk aku. Sudah menjadikan membaca sebagai kebutuhan?”
“Ya.” Jawabku mantap.
“Berarti kamu benar.” Menatapku. Yang terpenting, melanjutkan kebiasaan baik. Tidak pernah berhenti, iya kan?”
“Hidup buku!” teriaknya.
“Hidup membaca!” balasku. Kami berdua tertawa dan terus melangkah pulang. Benar yang dia sampaikan. Bukan karena gelar juaranya, karena hadiah sesungguhnya juga telah kuperoleh. Cinta buku.
Matahari semakin garang menguliti bumi dengan panasnya. Seperti garangnya tekad kami berdua untuk terus membaca, membaca dan membaca.***
Medan, 15 Mei 2010

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...