Minggu, 29 Juli 2012

Salju turun di rumah

“Bou, yang putih-putih itu namanya apa?” tanya Ari, keponakanku yang sudah berumur dua tahun saat melihat tayangan televisi. Bou adalah panggilan untuk saudara perempuan ayah warga Batak Mandailing yang banyak tinggal di daerah Sumatera Utara.
“Itu salju, iya kan Uda?” jawabku sembari menanya kepastian pada Rago, adik bungsuku yang terpaut 7 tahun dengan Ari, keponakannya. Uda adalah panggilan untuk saudara laki-laki ayah.
“Iya. Itu namanya salju. Salju turun seperti hujan, tetapi berwarna putih.” terang Rago. Meskipun Rago telah duduk di kelas IV SD, tetapi pembawaannya masih seperti anak berumur lima tahun. Mereka berdua sangat akrab. Jika salah seorang tidak kelihatan, maka yang lain akan mencari. Atau jika Ari pulang ke rumahnya di Rantau, Rago akan sangat merindukannya. Demikian juga Ari, dia akan selalu bertanya pada ibunya keberadaan Rago. Oleh karena itu, Ari sering berkunjung ke rumah. Seperti kali ini. 
“Apa salju tuyun di cini Bou?” tanya Ari dengan suara cadelnya. “
Di sini tidak turun salju Sayangku…”
“Kenapa?”
“Di sini cuma turun hujan…”
“Oh, hujaaan” ucapnya dengan membulatkan mulut dan manggut-manggut seolah-olah mengerti. Segera kuraih dia dan kucium gemes pipinya. Ari anak yang cerewet, suka bercerita. Celotehnya tidak pernah berhenti. Pertanyaannya bejibun. Terkadang aku harus terdiam beberapa saat memikirkan jawaban yang tepat untuknya.
Ari dan Rago masih asyik menyaksikan acara kesayangan mereka. Setiap pagi, jika Ari di rumah, aku yang menjaganya sebab orangtua telah harus berangkat untuk mengajar. Rago juga tidak mau pergi ke sekolah. Alasannya adalah untuk menjaga Ari. Untung saja dia sekolah di tempat ibu mengajar dan guru-guru lain memaklumi keunikannya sehingga tidak begitu memberatkan jika Rago tidak masuk sekolah.
Aku mengelola sebuah café yang beroperasi mulai pukul sepuluh pagi. Tetapi aku tidak harus selalu di sana, sebab aku telah mempercayakan café tersebut pada salah seorang anggota yang telah kupercayai. Oleh karena itu, waktuku lebih leluasa. Tidak terikat.
Aku meninggalkan Ari dan Rago di depan televisi. Melanjutkan beberapa pekerjaan rumah yang terbengkalai. Keberadaan Ari sering membuat rumah seperti kapal pecah. Barang-barang tergeletak pasrah di mana-mana. Mainan mereka berserakan di ruang makan. Kaset cd yang dibelikan ibu untuk mereka terkadang sudah berada di dapur. Tempat tidur berantakan, sepreinya sudah tidak melekat di kasur, bantal-bantal bergulingan di lantai, selimut dibawa berarak.
Aku sering mengelus dada menyabarkan diri. Sabar Dea… sabar. Kumulai dengan membersihkan rumah, merapikan seluruh kamar dan meletakkan barang-barang pada tempatnya semula. Sesekali kudengar teriakan kecil Ari jika dia merasa senang atau jeritan Rago saat melihat tokoh kartun kesayangannya terkena musibah.
Aku berdendang kecil agar pekerjaan terasa ringan. Tiba-tiba telah muncul si Ari kecil di belakangku.
“Bou…” Ari memanggilku dengan suara mungilnya. Aku terperanjat. Hampir saja aku terjatuh dan menimpanya yang berada tepat di belakangku.
“Astaghfirullah…” ucapku dan segera jongkok menyamai tinggi badanku dengannya. Dia tertawa melihatku yang hendak terjatuh.
“Ada apa sayang?”
“Aku lapa Bou, mau maka.” katanya dengan nada bicara yang belum pas untuk minta makan.
“Oh, Ari mau makan. Ya sudah, ayok kita ambil nasinya. Pakai apa?”
“Pate nasi puti, pate ayam dore, pate tecap” ucapnya menyebutkan nasi putih, ayam goreng dan kecap manis.
“Pakai sayur dan kuah juga kan?” tanyaku.
“Iya. Pate sayu, pate tuah.”
Celoteh-celotehnya yang seperti itu membuatku sering tidak tahan ingin menjawilnya. Kucium gemas pipinya sampai aku puas. Dia pun tidak pernah mau berlama-lama kucium kalau tidak kupaksa.
“Uda sudah makan?” teriakku pada Rago.
“Belum.”
“Mau makan sekarang?”
“Iya.”
Kuambilkan juga nasi Rago. Mereka berdua sering berlomba-lomba. Jika satu makan, yang lain juga akan minta makan. Karena itu aku menanyakannya juga, takut kalau nanti dia mengganggu keponakannya yang sedang makan. Tetapi sebenarnya, Ari yang lebih sering mengganggu Rago, walaupun badannya lebih kecil dan usianya lebih muda. Kubiarkan mereka makan berdua. Jika tidak banyak orang di rumah, mereka akan sangat akur. Juga akur dalam membuat rumah berantakan.
Aku kembali konsentrasi pada pekerjaanku. Kali ini, aku menyetrika pakaian yang telah membukit. Hujan beberapa hari lalu membuat pakaian banyak yang menumpuk. Melihatnya saja, aku telah lelah. Namun jika terus kubiarkan, jumlah itu tidak akan bisa berkurang, yang pasti bertambah jumlahnya.
Aku berada di ruangan yang berbeda dengan mereka, tetapi aku selalu berusaha mengawasi tingkah mereka. Hampir dua jam aku berdiri menyetrika pakaian-pakaian itu. Pinggangku terasa mau patah. Aku tersadar, sedari tadi aku tidak mendengar celotehan Ari atau suara Rago yang sedang berimajinasi melakukan adegan dari tayanagn yang dia lihat. Rumah sunyi senyap. Aku melongok, televisi masih menyala. Tetapi kedua bocah itu, tidak terlihat di sana. Kemana mereka? Fikirku. Aku berjalan ke teras rumah. Terkadang mereka berada di teras sedang bermain tanah atau bermain bola. Tetapi tidak kutemukan. Kufikir mereka pergi keluar untuk jajan atau bermain di tempat playstation yang ada di gang depan rumah. Pencarianku nihil. Mereka tidak ada. Aku mulai khawatir. Kucoba telusuri lagi ke dalam rumah. Aku masih di halaman depan ketika aku mendengar suara kecil yang tertawa.
Aku lega, ternyata mereka ada di dalam rumah. Tadi aku lupa memeriksa ke dalam kamar. Dengan hati-hati aku menghampiri kamar sumber suara mereka. Kudorong sedikit pintu agar ada celah untuk melihat ke dalam. Telah beterbangan di dalam kamar benda ringan berwarna putih. Apa yang mereka lakukan di dalam?
Kubuka lebar-lebar daun pintu. Mereka tidak menyadari kedatanganku. “Apa yang sedang kalian lakukan?” tanyaku menahan geram ketika kulihat lantai kamar telah penuh dengan bedak, isi bantal telah terurai. Ari berlari, berputar-putar dalam lingkaran yang telah penuh dengan taburan bedak. Sesekali dia tersungkur. Sementara Rago, mengambil kapas dari perut bantal dan meniupnya. Ketika melihat kapas beterbangan di udara, Ari tertawa-tawa dan berusaha menggapai kapas tersebut. 
Apa yang sedang kalian lakukan” tanyaku lagi ketika tidak seorang pun dari mereka menyahutku. Ari agak terperanjat mendengar suaraku. Namun kemudian, datang segera berlari ke arahku dan menarikku ke dalam.
“Ada salju Bou.” jawab Ari girang. “Liat Bou, salju na tuyun.” sembari memeragakan meniup kapas ke udara. Kapas yang dihembuskannya jatuh ke lantai rumah. Matanya berbinar-binar melihat pertunjukan itu.
“Iya kak. Salju itu seperti ini kan?” kata Rago.
“Iya…. Iya…” sepelti ini kan Bou...” Ari terus mengulangi meniup kapas ke udara.
Mataku sebenarnya telah mempelototi mereka. Aku telah lelah. Tetapi ruangan ini masih saja berantakan karena ulah dua bocah yang penuh dengan imaji ini. Namun, aku segera tersadar. Apalah artinya kemarahanku dibandingkan kesenangan mereka atau sakit hati akibat kemarahan itu?
Perlahan kukembangkan senyum yang tadi terenggut dari wajahku.
“Hmm, jadi ini salju?”
"Iya Bou. Salju. Telbang. Puti.” jelasnya masih dengan binar yang sama.
Aku ikuti mereka menerbangkan kapas-kapas itu ke udara. Ari berjingkrak-jingkrak kegirangan mengambil “salju” yang turun, turun di rumah kami….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...