Rabu, 12 September 2012

Sejumput asa di balik derita

“Kamu masih belum mengerti yang Bapak maksudkan?” tanya pria separuh baya yang menjadi dosen pembimbingku itu dengan nada mulai kesal. Selama beberapa perkuliahan, aku telah mengenal pribadi dari sosok tersebut, berjiwa fair, tidak gampang marah, dan selalu bersikap positif. Tetapi, melihat kedunguanku, kesabarannya menipis.
“Jika setelah bimbingan hari ini, kamu masih belum juga mengerti, aku akan mengundurkan diri menjadi dosen pembimbing buatmu. Mungkin aku yang tidak berhasil membimbingmu sehingga sampai hari ini, kamu belum juga tahu harus menuliskan apa? Harus membahas apa? Harus membuat skripsimu ini menjadi seperti apa? Kamu harus ingat target yang telah kamu buat. Kalau bagi saya, tidak masalah mau sampai kapanpun kamu di universitas ini. tapi fikirkan orangtuamu. Orangtua yang membiayaimu.” ucapnya menutup bimbingan hari itu.
Ya. Ucapan dosenku itu memang benar. Aku yang ingin segera wisuda di awal bulan Agustus 2009 ini. Tiga bulan yang kurencanakan untuk menindaklanjuti proposalku menjadi skripsi belum berjalan sempurna. Bulan kedua telah mulai habis, sementara aku masih tertatih-tatih mengenai pembahasan skripsi yang kubuat sendiri. Airmataku mulai menitik. Kenapa kali ini begitu bodoh sampai dosen pembimbingku merasa harus mengundurkan diri? ***
Skripsi adalah momok bagi mahasiswa. Itu yang kubaca pada sebuah buku pedoman menulis skripsi yang direkomendasikan oleh dosen mata kuliah seminar bahasa dan sastra. Hal itu berlaku juga bagiku, seorang mahasiswa yang jarang sekali menulis dan melakukan penelitian. Tetapi, aku juga menemukan hal baik lain dari buku itu yang menyebutkan bahwa mahasiswa tidak perlu takut dengan yang namanya skripsi. Skripsi adalah sebuah latihan untuk mahasiswa melakukan penelitian yang sesungguhnya.
Sebenarnya aku masih terbata-bata saat judul proposal yang kuajukan diterima pihak jurusan. Aku belum terlalu mengerti hendak meneliti apa. Namun kemudian, kuyakinkan diriku, sembari belajar, sembari berjalan, aku pasti mulai mengerti seluk beluk penelitianku nanti.
Ketika menyusun draft proposal dari latar belakang hingga rumusan masalah, aku masih dengan lancar bisa menganalisanya. Tetapi saat berjibaku dengan teori, aku mulai linglung. Apa maksud teori di sini? Telah berulangkali dosen pembimbingku menjelaskan. Berulangkali juga aku mengangguk mengerti saat dia jelaskan, namun segera buyar saat aku akan menuliskannya dan mencari bahan yang kuinginkan. Literatur-literatur berkenaan dengan bahasa Arab, jurusanku, sangat langka kutemukan. Aku tidak membahas perihal yang telah sering muncul dalam skripsi senior-seniorku. Membahas tentang fi’il (predikat), fa’il (subyek) atau maf’ul bih (objek) hanya dengan objek suroh yang berbeda namun menggunakan teori yang sama. Ada 114 suroh dalam Al-Quran. Dan akan ada 114 judul skripsi yang bisa diajukan meskipun teori yang dipergunakan sama, dari orang yang sama. (Dalam bahasa Arab, terkadang subyek atau pelaku suatu pekerjaan tidak langsung kita temukan dalam kalimat tersebut, tetapi subyek berada pada kalimat lain. Permasalahan seperti itu banyak ditemui dalam Al-Qur’an sehingga meskipun dengan judul yang sama, para peneliti masih tertarik untuk membahasnya. Itulah salah satu keunikan bahasa Arab). Aku ingin yang sedikit berbeda. Setidaknya, perbedaan itu menambah nilai plus dalam penelitianku. Itu yang ada dalam fikiranku. Tetapi, aku melupakan masalah yang mungkin bisa menghambatku segera menyelesaikan skripsiku tersebut. Perihal teori yang sering menjadi kebingungan buat mahasiswa yang masih begitu awam, sepertiku saat itu.
Akhirnya, kutemukan juga teori yang akan membahas objek penelitianku walaupun aku harus terseok-seok. Seminar proposal untuk judulku pun digelar. April 2009. Aku lupa tanggalnya. Presentasi proposalku berjalan mulus. Ketua jurusan yang merupakan salah satu pengujiku mengatakan bahwa jarang mahasiswa yang berani menampilkan permasalahan seperti yang kuajukan. “Objek penelitianmu ini merupakan salah satu bukti keadilan pada masa Rasulullah. Silahkan lanjutkan penelitianmu dan kerjakan skripsimu dengan sempurna. Jangan mengecewakan kami.” begitu kira-kira isi pesan yang dia sampaikan di sesi terakhir seminar proposalku.
Aku gembira mendengar komentar ketua jurusan tersebut. Aku semakin semangat melanjutkan penelitianku. Penelitian yang kulakukan adalah penelitian kepustakaan atau bahasa kerennya library research bukan penelitian lapangan sebab itu tidak bisa kulakukan. Permasalahan yang coba kubahas adalah benda saksi sejarah 14 abad silam, pengaruhnya pada masa itu. Aku tidak mungkin kembali pada masa silam karena masa silam adalah masa yang sangat jauh, tidak akan mungkin bisa diulangi. Aku hanya melakukan literasi dari buku-buku. mencari perhubungan dari sumber yang satu dengan sumber yang lain. Beberapa sumber yang kudapat tidak pernah bertentangan. Masih menyebutkan hal serupa. Oleh karena itu, kusimpulkan buku-buku tersebut bisa dijadikan sumber acuan untuk penelitianku.
Bab I bisa kuselesaikan dengan baik. Ketika memasuki bab II, masalah mulai muncul. Aku tersandung dengan teori yang bisa membahas tentang objek penelitianku. Pada seminar proposal, aku telah mempunyai gambaran tentang penelitian lanjutan dari skripsiku. Tetapi saat menuliskan bab yang berisi tentang teori pembahasan, aku mulai kelimpungan. Kucoba tetap bertahan pada teori yang kubuat pada proposal. Semakin kupertahankan, isinya semakin semrawut dan tidak jelas arah tujuannya. Aku mulai panik. Waktu terus berjalan. Waktu wisuda semakin dekat. Tetapi permasalahannya belum kunjung menemukan solusi. Sampai akhirnya dosen pembimbingku mengeluarkan kata-kata yang membuatku semakin frustasi. Kenapa ketololan ini berlanjut?
Aku mengutuk diriku atas kejadian tersebut. Aku tentu tidak mau hal itu terjadi. Bukannya menyelesaikan persoalan, hal itu tentu akan menambah runyam dan menjadikan penelitianku yang telah berjalan setengah semakin lama karena ketidaksamaan visi. Hal itu juga tentu akan memperburuk citraku di mata para dosen.
Frustasi yang kurasa membuatku diam. Diam. Tidak menyentuh skripsiku. Bahkan memikirkannya pun aku enggan. Sampai beberapa hari, aku keluar dari zona bernama skripsi. Setelah aku merasa cukup untuk menenangkan diri, aku mencoba membaca ulang proposal, draft skripsi dan buku-buku yang menjadi bahan acuanku. Aku sudah pasrah tidak mengikuti wisuda yang akan berlangsung tiga hari lagi. Kuikhlaskan diriku. Mungkin ini jalan terbaik. Mungkin ada hikmah yang bisa kupetik, mekipun aku belum tahu sekarang. Nanti pasti kutemukan jawabannya.
Di sela-sela membaca buku-buku tersebut aku menemukan ide. Ide yang sedikit bertentangan dengan isi proposalku. Setelah merevisi ulang bab II skripsiku, aku beranikan diri untuk janji bertemu dosen pembimbingku buat bimbingan lanjutan. Dia menanyakan, apakah aku benar-benar menemukan jawabannya? Insya Allah Pak. Jawabku, setengah tak yakin.
Di hari wisuda yang tak menjadi milikku, aku sedang mendiskusikan jalan keluar untuk menyelamatkan skripsiku yang meregang nyawa. Setelah kutunjukkan hasil penemuanku, dosen pembimbingku menyetujuinya meskipun untuk itu aku harus merevisi ulang skripsiku dari bab pertama. Dia berjanji akan membantuku jika pada saat ujian aku terbentur masalah karena perubahan ini. kuucap syukur pada Sang Kuasa karena telah membukakan pintu hatiku juga pintu hati dosen pembimbingku yang begitu baik hati.
Selesai bimbingan, aku menyempatkan menghadiri wisuda beberapa teman meskipun aku merasa kegalauan yang mengganjal di hatiku. Saat melihat mereka keluar dari auditorium dengan toga yang menjadi kebanggan itu, airmataku menitik, menitik ke dalam lubuk hatiku. Ada sesal yang mendera. Ada duka yang menyergap. Harusnya aku ikut berpakaian sama dengan mereka. Tuhan tentu sangat tahu isi hatiku. Di saat hatiku begitu hancur bak kapal karam, aku menerima pesan singkat dari ibu. Bou Hafni, kapan pulang? Bou adalah panggilan untuk saudara perempuan ayah. Mengapa ibu menyebut aku dengan Bou? Beberapa saat aku termenung. Akhirnya aku terlonjak kegirangan. Keponakanku telah lahir. Subhanallah. Ternyata keponakanku yang tidak mengizinkanku untuk wisuda hari ini. Dia akan mendatangi bumi ini di hari wisuda yang ditetapkan oleh universitas tempatku mengecap pendidikan. Subhanallah. Maha suci Allah. Inilah hikmah yang kudapat dari musibah yang menimpaku kala itu. Seandainya aku turut berpakaian toga seperti mereka yang anniversary hari ini, tentunya ibu akan berada di sampingku. Siapa yang akan membantu persalinan kakak iparku? Siapa yang akan mengurus keponakanku setelah kelahirannya saat ibunya masih begitu lemah? Subhanallah.
SMS dari ibu membuatku kembali semangat. Semangat mengerjakan skripsiku agar aku bisa pulang dan menemui keponakanku yang telah mengobati sakit hatiku.
Setelah menemui jawaban dari persoalanku, aku kembali dengan tekun mengerjakan bab demi bab skripsiku. Telah hampir selesai seluruh bab kukerjakan. Aku tinggal mengedit dan meminta tanda tangan dosen pembimbing ketika aku terbentur masalah, lagi. Aku harus ikut registrasi untuk semester berikutnya. Sementara aku tinggal mendaftar untuk sidang. Registrasi berarti membayar SPP lagi. Meskipun SPP kami tidak termasuk mahal, tetapi bagiku dengan keuangan pas-pasan, uang tersebut masih sangat berarti. Hanya karena aku sedikit terlambat, haruskah aku membayar SPP lagi? Adakah keringanan buat mahasiswa dengan problema sepertiku?
Aku berupaya mencari informasi tentang keringanan tersebut. Ternyata ada dan aku tidak sendirian. Urusannya sedikit rumit. Aku harus bolak-balik ke kampus hanya untuk memastikan surat dari jurusan keluar yang menyatakan bahwa aku tinggal menunggu sidang. Belum lagi tanda tangan ketua jurusan yang tidak segera bisa kudapat karena kehadirannya yang jarang di kampus disebabkan kesibukannya di luar kampus. Aku terus menyabarkan diriku. Aku yang membutuhkan mereka. Aku harus lebih banyak bersabar meskipun diperlakukan seperti ayam panggang, dibolak-balik hingga terkadang gosong.
Dengan kesabaran luar biasa, aku mendapat keringanan tersebut dan tidak perlu membayar SPP untuk semester berikutnya walaupun aku wisuda setelah masuk semester selanjutnya. Alhamdulillah. Terimakasih Allah, Engkau masih menolongku.
Aku sidang bertepatan di bulan Ramadhan. Aku diuji di ruangan sidang dan shaumku juga diuji di ruangan yang sama. Sebelum memasuki ruangan sidang, jantungku berdetak tak menentu. Kutenangkan hatiku dengan doa-doa untuk melapangkan hati, dengan bacaan Al-Fatihah dan Al-Insyirah. Semoga Tuhan memberiku kelapangan. Kuberitahu juga ibu bahwa giliranku akan segera tiba. Aku memohon doa darinya, doa mustajab dari seorang ibu.
Saat namaku dipanggil untuk memasuki ruangan sidang, dadaku bergemuruh semakin kencang. Kutatap wajah-wajah dosen pengujiku. Kulihat mereka tersenyum dan menyuruhku mempresentasikan hasil penelitian skripsiku. Dengan membaca basmalah, kumulai presentasiku. Ajaib, sepersekian detik kemudian, rasa takut itu hilang. Berganti kelancaran dalam mempresentasikan skripsiku. Pada sesi tanya jawab, aku juga bisa menjawabnya dengan tenang. Ketika seorang dosen penguji menanyakan perubahan pada skripsiku yang tidak ada dalam proposalku, aku terdiam sejenak. Haruskah mengatakan yang sesungguhnya? Dalam berfikir demikian, dosen pembimbingku berujar dan mengatakan bahwa hal itu atas rekomendasi darinya. Dosen lain mengangguk. Tidak ada yang mempersoalkannya. Alhamdulillah. Sampai akhir sidang, aku masih sanggup menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Alhamdulillah.
Aku lulus dengan hasil yang memuaskan dan siang itu aku resmi bergelar sarjana sastra. Setiap perjuangan pasti akan membuahkan hasil. Awalnya, aku menyangka penulisan skripsiku akan berjalan dengan mulus. Tidak akan ada cerita sedih seperti kisah teman-teman lain yang mendapatkan dosen pembimbing killer, atau susah ditemui, atau karakternya jauh berbeda dengan dosen pembimbingku. Aku mengambil hikmah dari peristiwa tersebut bahwa perjuangan itu akan lebih terasa jika rintangan yang dihadapi bisa dilewati dengan baik. Tidak dinamakan perjuangan jika tidak menemui rintangan.
Pada 26 Oktober 2009 aku mengikuti wisuda periode berikutnya. Alhamdulillah. Aku semakin yakin dengan keadilan Tuhan. Betapa dia tidak pernah menzhalimi hambaNya dan hanya menyerahkan urusan yang sanggup untuk dipikul hambaNya. Sesungguhnya di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Inna ma’al ‘usri yusro….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...