Rabu, 12 September 2012

Kaka Kecil dari Sudut Kota

Suara itu tidak asing terdengar di telingaku. Mungil, penuh semangat dan berteriak lantang. “Tendangan Macan Ngamuk” sebutnya meniru ucapan dari pemain kesayangannya dari sebuah sinetron di salah satu stasiun TV swasta tentang kegiatan anak-anak yang menyukai bola. Suara mungilnya berasal dari lapangan di depan rumah. Kuperhatikan dia dari dalam rumah. Dia sedang memasang kuda-kuda, bersiap hendak menyepak bola yang ukurannya jauh lebih besar dari bentuk kaki kecilnya. Mata beningnya menatap tajam ke lawan mainnya, tangannya menyilang berbentuk X yang kemudian dia lepaskan ke sisi kanan kirinya dan kaki itu bergerak cepat menendang benda bundar berwarna putih memudar di hadapannya yang melesat kencang melampaui penjaga gawang. Kiper berbaju coklat, bermata bulat dan berbadan lebih besar darinya mencoba menangkap bola yang melaju pesat ke arahnya. Wuss. Dia hanya menangkap angin dan bola tersebut jatuh ke dalam gawang yang dijaganya. 
“Gooool. Lima kosong.” seru si bocah berumur tiga tahun yang tadi menendang bola dengan riang sembari berputa-putar mengitari tempat dia berdiri dengan sorot mata senang luar biasa.
Anak di depannya menggaruk-garuk kepalanya. “Kan baru satu kosong, Rago. Kenapa bilang lima kosong?” seru Hiro sedikit kesal melihat tingkah Rago.
“Oh, satu kosooong.” Rago membulatkan bibirnya dan menatap jenaka pada Hiro.
Aku tersenyum melihat reaksi Rago, keponakanku. Dia selalu mengatakan lima kosong jika berhasil memasukkan bola ke gawang lawan meskipun itu untuk yang pertama kali. Refleks dia menyebutkan angka itu meskipun dia belum mengenal angka dengan baik.
Aku kagum melihat tendangannya. Anak sekecil itu mampu menendang bola dengan sangat keras tanpa merasa kesakitan sedikitpun. Aku jadi teringat sebuah video dari acara On The Spot tentang seorang bayi berumur sekitar satu tahun yang telah menandatangani sebuah kontrak dengan klub terkenal karena kelihaiannya berkali-kali memasukkan bola ke dalam sebuah kotak tanpa pernah terpeleset sekalipun. Atau seorang anak berusia lebih kurang tujuh tahun telah direkrut menjadi pemain Nasional karena kepandaiannya memainkan bola tanpa pernah terjatuh dari kakinya sampai permainan itu dia hentikan. “Anak-anak ajaib” fikirku.
Rago memang sangat menyukai bola. Sejak dia pandai berdiri dan mengenal bola, dia sangat tertarik untuk memainkannya. Bola dengan berbagai ukuran mampu dia kuasai dengan baik. Tendangannya itu, memukau dalam pandanganku. Pernah suatu kali, bola yang ada di rumah adalah bola kecil dari bahan plastik. Dia melemparkan bola itu ke udara dan secepat kilat kakinya menangkap gerakan bola tersebut dan menendangnya tepat ke sudut rumah. Bola kecil itu seperti telah dihipnotis agar jatuh tepat dia atas kaki mungilnya yang kemudian terpental ke sudut rumah. Hebat. Batinku.
Jika dia ada, seluruh rumah disulapnya menjadi lapangan hijau itu. Semua orang rumah, tidak ada yang kuasa menolak jika dia meminta untuk menemaninya bermain bola. Meskipun meja dan kursi yang ada di ruang tamu membentang besar di hadapannya, dia tidak akan surut karena halangan itu. Dia malah menyuruh untuk menyingkirkannya dengan menyusunnya melekat ke dinding rumah agar dia leluasa bermain. Begitu banyak ide yang dia munculkan agar keinginannya tersebut terpenuhi.
“Gesel la Bou mejanya. Lago mau main bola.” rengeknya padaku yang berpura-pura enggan melakukannya. Bou adalah panggilannya untukku karena aku merupakan adik perempuan ayahnya. Rago adalah anak pertama abangku.
“Rago harus mencium pipi Bou dulu. Baru Bou mau.” “Ah, Lago nggak mau. Bou bau.”
“Ya, sudah. Nggak mau Bou gesernya.”
“Mau la.” pintanya, kekeuh.
Suara cadelnya membuatku tidak tahan ingin menimpukinya dengan ciumanku. Kucium pipinya beberapa kali dengan gemesnya. Sampai-sampai pipinya terlihat penyot karena ulahku. Dia hanya tertawa. Setelah puas, baru aku memenuhi permintaannya. Dia tersenyum senang.
“Bilang apa sama Bou?”
“Makacih Bou.” ujarnya.
Setelah aku meminggirkan benda-benda tersebut, aku berlalu darinya.
“Bou mau kemana?”
“Bou mau memasak makan malam Rago dulu.”
“Nggak usahlah masak Bou. Main aja la kita.”
Aku tertawa mendengar permintaannya. “Rago main sama Uda Rizal aja ya. Tunggu sebentar, biar Bou panggil Uda Rizal.”
“Lago itut manggil Uda Lizal.” Rago mengikutiku dengan langkah imutnya. Uda adalah panggilan untuk saudara laki-laki ayah.
“Rizaaal….” teriakku.
“Lizaaal….” dia meniruku.
“Uda Rizaaal….” aku membetulkan ucapanku. Aku tersadar, anak-anak sangat suka meniru yang kita lakukan. Jika berada di sampingnya kudu hati-hati mengeluarkan kata-kata. Sangat berbahaya jika dia mendnegar perkataan yang kurang baik. Bisa-bisa ditirukannya berulang-ulang. Kan bahaya?
“Uda Lizaaal…” panggilnya kemudian.
Celoteh-celoteh ringannya dan teriakan-teriakan senangnya masih mampir di telingaku selama dia bermain di lapangan bola buatan berukuran 10 x 4,5 meter itu.
Meskipun telah seharian bermain, tidak tampak lelah di wajahnya. Sampai malam, dia masih sanggup berlari-lari, masih sanggup terus bermain bola. Permainannya itu terhenti hanya karena haus, atau lapar, atau mandi, atau telah menonton acara kesayangannya, atau telah tidur. Terkadang agar dia tertidur lelap, dia harus tidur ditemani bola kesayangannya.
“Rago, tendangan si Madun.” ucap Rizal mengingatkannya akan siaran kesenangannya itu. Rago pun bersegera duduk manis di depan televisi, tanpa melupakan bolanya. Saat soundtrack dari sinetron itu diputar, dia pun akan ikut bernyanyi riang.
Indonesia…. 
Indonesia… 
Itu namaku tanah airku 
Nomongin bola, Lago jagonya
Kalo nggak pelcaya, liat aje 
Dia bernyanyi penuh semangat dengan lirik sedikit meleset dari aslinya, terkadang tidak jelas yang disebutkannya. Matanya tidak akan berkedip dari tayangan itu. Dia sepertinya sedang merekam setiap kejadian yang dilihatnya dalam memorinya. Begitu jeda tayang, dia akan berdiri dan menyiapkan bolanya. Maka dia akan menyebutkan salah satu jurus yang baru saja didengarnya dan memperagakan sebuah tendangan seperti gaya salah satu pemeran yang baru saja dilihatnya.
“Tendangan asal-asalan.” ucapnya menirukan pemeran berbadan tambun dalam sinetron itu. Meskipun tendangan tersebut dimaksudkan asal-asalan, namun tetap mengenai sasaran. Maka bola yang ditendangnya akan nyasar di kolong meja. Dia tersenyum setelah melakukan tendangan itu dan menatap kami satu persatu. Tatapan dan tingkahnya itu membuat kami serempak tertawa dan dia pun ikut tertawa bersama kami dengan menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya pertanda malu. Ciuman pun bertubi-tubi mengenai pipi mungilnya yang menyiratkan kesenangan tidak terhingga itu….

2 komentar:

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...