Sabtu, 15 September 2012

Cerita Sekeping Hati

Langit mendung malam ini mengguratkan gumpalan awan tebal di wajahku.
“Tidak bisakah kesalahan itu diperbaiki?” tanyaku, lagi, untuk yang ke sekian kali di sore itu.
Dia tidak bergeming. Tidak memandangku sedikitpun.
“Hari telah sore. Sebentar lagi hujan turun. Pulanglah.” ujarnya, dan berbalik.
“Telah adakah yang menggantikanku?” tanyaku, mendesak.
“Kelak, kau akan tahu jawabannya. Jangan memaksaku sekarang. Pulanglah.”
Aku terdiam. Hujan di sore itu, semakin membasahi hatiku yang lara… *** 
Sembilan tahun yang panjang. Aku berusaha menanti, sebuah ketidakpastian yang benar-benar sangat melelahkan. Semua penantian ini, sangat tak wajar kurasa. Terlalu sering aku memintanya memutuskan hubungan tidak jelas ini. Tapi tatapan itu, sungguh tak kuasa untuk kutolak. 
“Hanya kau yang mampu mengerti aku.” Begitu selalu yang dia ucapkan.
Aku mengenalnya sejak di bangku SMP. Aku tahu dia laki-laki yang baik, sopan, dan periang. Tapi aku tidak pernah tahu, hatinya sering diliputi kegalauan, tentang seseorang yang mampu memahaminya.
Aku tidak pernah berharap menempati posisi di hatinya waktu itu. Sama sekali tidak pernah. Walau kuakui, aku menyukainya. Semua itu sanggup kusimpan dalam diam, dalam bungkam.
Diam-diam menatapnya, itu lebih dari cukup buatku. Aku tidak pernah mengharapkan lebih dari itu. Sampai perpisahan terjadi. Aku kehilangan semua kesempatan untuk menatapnya dalam diamku, yang ternyata mencemaskanku. Hingga, kesalahan itu pun terjadi, aku menyampaikan perasaanku. Hal terbodoh yang pernah kulakukan kala itu. Aku tidak berharap dia membalas perasaanku, karena bagiku, dia tahu, itu sudah cukup membuatku baik-baik saja. Tapi semua terjadi di luar dugaanku. Dia menerima hatiku. Meminta lebih dari yang kukira. Ahh, aku tidak sanggup menolak meski nuraniku mengatakan tidak. Bingung menderaku.***
“Siapa yang tidak tahu kisah Romeo dan Juliet? Sebuah kisah cinta yang begitu menakjubkan. Tapi kau pasti tidak akan mengenal Gabriella bukan? Orang-orang mengira bahwa Juliet adalah cinta pertama Romeo. Siapa mengira bahwa bukan Juliet cinta pertama dari Romeo? Juliet telah memikat hati Romeo saat Romeo memimpin pasukan ke sebuah wilayah perang, tidak lagi pernah kembali. Dan tinggallah Gabriella dalam kesendirian. Cinta pertama dengan Gabriella pun berakhir. Mengapa cinta Romeo begitu sembrono, Xin?”
Dalam kamarku yang temaram, aku tenggelam menyaksikan sebuah drama Korea berjudul Princess Hours itu. Mataku nanar mendengar dialog itu diucapkan oleh seorang wanita pada prianya yang telah memilih orang lain, dan melupakannya. Tanpa terasa, airmataku menetes, menangis dalam diam. Terkenang akan diriku yang sepertinya akan mengalami nasib seperti Gabriella. Cinta pertama yang terlupakan.
Ya, dia adalah cinta pertamaku. Dan sejak dia meminta kesediaanku untuk menunggunya kembali, aku menyimpan harapan dalam hatiku, semoga dia juga menjadi cinta terakhirku.
“Aku tidak mudah menyukai seorang perempuan. Jika kukatakan, aku menyukainya, sampai kapanpun, aku tidak akan pernah rela melepaskannya.”
Janji pertama yang dia ucapkan. Kalimat yang mampu membuatku berbunga-bunga. Aku bahkan belum mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Namun yang kutahu, tidak ada dalam hatiku hendak bermain-main dengan panah asmara itu. Jikapun aku mengiyakan, aku hanya tidak ingin dia menganggapku suka mempermainkan orang lain. Aku menyukainya. Itu kuakui. Namun menjalani hubungan yang tidak jelas itu, sebenarnya sangat tidak kuinginkan.
Tahun-tahun berlalu. Aku mulai bisa meraba hatinya. Hati yang dia katakan tidak ada yang sanggup mengerti. Hati itu, mirip sekali dengan hatiku. Hati yang tidak ingin dibagi dengan orang lain. Hati yang setia. Hati yang hanya ingin diisi oleh satu nama.
Meski hubungan ini hanya bermuara lewat udara, karena sejak itu, kami telah dipisahkan oleh jarak, dan aku menyanggupi untuk menunggunya kembali, hubungan ini bisa bertahan lama.
Aku bisa merasakan, dia berusaha teguh memegang janjinya. Tidak rela melepaskanku sampai kapanpun. Tahun yang telah terlewati juga membuatku menjadi menyayanginya. Tidak ada masalah yang berarti selama hubungan jarak jauh itu. Justru masalahnya bermula sejak kami bertemu dan berada dalam kota yang sama. ***
Kami bertemu kembali setelah masing-masing dari kami telah memasuki dunia kampus. Walau berusaha keras untuk kuredam, rindu padanya semakin hari terasa semakin menyesakkanku. Rindu dendam yang telah sekian lama dipendam terobati seketika setelah pertemuan. Ya, pertemuan yang (sebenarnya) kudamba.
Sosoknya berubah banyak di mataku. Tentu saja jauh berbeda dibandingkan saat masih umur belasan. Dia tumbuh menjadi pria tangguh, kekar, dan tampak gagah dengan lengan yang sedikit berotot. Dia menjadi pria dewasa yang menawan bagiku.
Kebersamaan itu, awalnya manis. Aku kagum padanya yang berusaha mengerti keadaanku. Tidak ada kesan memaksa dari perkataan ataupun perbuatannya. Semua itu membuatku nyaman. Pertemuan demi pertemuan bukannya membuatku tidak lagi merasakan rindu. Hebatnya, rindu itu bertambah dari hari ke hari, meski kerapkali kami bertemu.
Entah fase apalagi yang kualami saat itu. Perasaan tidak enak dahulu itu, kuakui tetap ada, tapi kenyamanan di dekatnya juga menjadikanku tidak memedulikan perasaan itu.
Kukira, semua moment itu akan lama berlangsung. Tetapi perkiraanku salah. Untuk pertemuan yang ke sekian, dia mulai membuat sebuah peraturan denganku. Peraturan yang mengekang kebebasanku. Peraturan yang dengan sendirinya ada, hanya karena sebuah celetukan yang terlontar tanpa tersadar. Membuatku harus berbuat sedikit lebih hati-hati, untuk menjaga perasaannya.
Ah, terkadang muncul anggapan dalam diriku, siapakah aku ini sebenarnya? Tidak ada ikatan sah yang membuatku harus memerhatikannya. Tapi kini, aku harus melakukan itu. Hanya untuk menjaga hatinya. Tapi hatiku?
Sebal akan semua peraturan itu, aku sering melontarkan putusan tajam ke arahnya. Baiknya, hubungan ini diakhiri saja. Ya. Aku lelah. Harus menjaga perasaan seseorang yang belum tentu akan menjadikanku pendamping hidupnya, walau ia telah berjanji. Namun janji itu, masih hanya janji antara kami berdua. Tidak ada pihak keluarga di sana. Bahkan tidak ada hukum atau norma yang kuat agar janji itu tidak diingkari. Itu hanya keinginan dua hati yang ingin bersama, kelak. Belum putusan bulat yang harus dijaga.
Dia, dengan sendu akan menatapku. “Tolong jangan pergi, aku tak bisa tanpamu.” Dan, lagi-lagi aku selalu luruh dengan wajah penuh harap itu.***
Aku sendiri bingung dengan diriku. Aku ingin, tapi tak ingin. Begitulah yang kurasa. Aku menginginkannya Ya. Tapi, aku tidak ingin menjalani hubungan seperti ini dengannya. Bagiku, baiknya berteman saja, tapi buatnya, lebih dari berteman akan menjadikannya bahagia. Hari itu, aku pun menyadari, betapa pelik urusan hati, urusan perasaan, urusan cinta terhadap pasangan.
Aku juga ingin melihatnya bahagia. Aku telah menjalani hari-hari setelah hubungan ini bermula. Tetap saja, bisikan nurani itu terus terdengar. Aku selalu merasa bersalah ketika nurani tidak jua kudengarkan. Pada akhirnya, dalam tidak sadarku, aku terlalu sering juga menyakiti perasaannya. Berkali-kali aku minta agar hubungan ini diakhiri. Dan berkali-kali pula dia menolak. Serta berkali-kali juga aku luluh dan mengalah.
Sampai pada suatu saat ketika dia mencapai titik jenuh akan permintaan itu, di kesempatan terakhir dia mengabulkan permintaanku. Awalnya, kukira aku akan baik-baik saja. Karena sesungguhnya, aku telah terlalu terbiasa dengannya. Telah sangat terbiasa dengan merindukannya, rindu yang pasti akan menghadirkannya di hadapku.
Ternyata aku salah. Aku tidak dengan serta merta merasa baik. Ada rasa bersalah yang mendera. Apakah aku keterlaluan? Apakah dia merasa aku telah mempermainkannya? Beragam pertanyaan memenuhi otakku.
“Aku telah menyukai orang lain.”
Airmataku tumpah setelah mendengarnya mengucapkan kalimat itu. Dia benar-benar mengakhiri hubungan yang telah lama terajut dalam ketidakpastian ini. Aku tak percaya dengan semua itu. Semudah inikah? Setelah sekian lama?
Meskipun aku yang meminta, pemutusan hubungan ini ternyata menyakitkan. Berhari-hari aku dirundung duka. Pedih menimbulkan luka di hatiku. Aku benar-benar tidak percaya. Aku takkan percaya sampai aku menemuinya dan dia mengatakan sendiri padaku. ***
Sore itu, di sebuah restoran, aku duduk berhadapan dengannya. Ada rasa canggung yang tiba-tiba menyergap. Sore itu berbeda, meskipun sebelumnya, aku dan dia telah terbiasa duduk berdua menikmati wisata kuliner di setiap sudut kota. Kali ini, memang berbeda dari yang biasa.
“Benarkah semua ini telah berakhir?” tanyaku setelah sekian lama kami sama-sama bungkam.
“Bukankah kau yang meminta.” Aku terdiam.
“Janji itu, masih kau ingatkah?”
Dia menghela nafas. “Aku telah melupakannya.”
Wajahku kian pias. Lahar panas serasa menjalar di pelupuk mataku. “Aku mengaku bersalah padamu. Kau pria yang baik.”
Aku menghela nafas, berat. “Masih bisakah kesalahan ini diperbaiki?” Aku menatapnya penuh harap. Seperti tatapannya dahulu. Tatapan yang selalu meluluhkan hatiku.
Dia bungkam. Mengalihkan matanya dari pandanganku.
“Tiap manusia pasti mempunyai catatan kesalahan. Bukankah sebuah kesalahan masih bisa diperbaiki?”
“Sudahlah. Aku telah melupakannya.”
“Tidak bisakah kesalahan itu diperbaiki?” tanyaku, lagi, untuk yang ke sekian kali di sore itu.
Dia bergeming. Tidak memandangku sedikitpun.
“Hari telah sore. Sebentar lagi hujan turun. Pulanglah.” ujarnya, dan berbalik. “Telah adakah yang menggantikanku?” tanyaku, mendesak.
“Kelak, kau akan tahu jawabannya. Jangan memaksaku untuk menjawabnya sekarang. Pulanglah.”
Aku terdiam.
“Telah adakah yang menggantikan posisiku?” tanyaku, lirih.
Perlahan kepala itu mengangguk. “Aku telah terlanjur menyukai orang lain.”
“Aku pernah bilang padamu, aku tidak mudah menyukai seorang perempuan.” Ujarnya lagi. “Jika aku telah menyukainya, sampai kapanpun tidak akan pernah kulepaskan. Hari ini, hatiku telah berpaling. Aku telah menyukai orang lain. Maaf.”
Aku tidak lagi ingin meneruskan percakapan itu. Pengakuannya telah cukup membuat hatiku teriris. Kukira dia berbohong, hanya ingin menakut-nakutiku. Tapi setelah mendengar pengakuan itu, kurasa tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Tidak ada kebohongan dari tatapannya, juga tidak ada gurauan dari ucapannya. Semuanya sangat jelas. Aku, telah menjadi masa lalu.
Hujan yang turun di sore itu, semakin membasahi hatiku yang lara.... ***
“Maaf, aku harus pulang.”
Aku berlari mendapati hujan. Meninggalkannya yang berteriak menahanku. Mengingatkanku agar menunggu hujan reda. Aku tidak lagi memedulikan semua itu. Rasa sakit atas sebuah pengakuan pahit membuatku tidak ingin berfikir panjang selain segera berlalu dari hadapannya.
Ahh. Jadi selama ini hanya karena tidak ada yang lain. Hanya karena baru aku yang dia kenal. Baru aku yang menjadi pelipur laranya. Setelah dia mendapati yang baru, semua itu ternyata dapat dengan mudah dilupakan.
Ternyata, aku salah. Harusnya aku lebih mendengarkan nuraniku. Harusnya aku lebih mementingkan hatiku. Lebih menjaga hatiku daripada memikirkan perasaan orang lain, yang belum tentu memikirkanku. Harusnya aku memang tidak perlu bermain api cinta, sebab aku pasti bisa terbakar dalam kobarannya. Harusnya aku.... ***
Langit mendung malam ini mengguratkan gumpalan awan tebal di wajahku.
Telah kemana cinta itu pergi? Tidakkah berarti semua penantian ini? Mengapa kau begitu tega? Beginikah akhir dari penantian panjang ini? Jika harus berakhir seperti ini, aku tidak ingin pernah bangun dari mimpi panjang tentang pertemuan indah denganmu. Aku ingin terus berada di dunia mimpi agar aku tidak perlu tahu betapa menyedihkan kenyataan yang kuhadapi hari ini. Benarkah kesalahan itu tidak lagi dapat diperbaiki hingga posisiku benar-benar telah terganti? Aku tidak pernah memberi tempat terindah ini buat orang lain selain dirimu. Tidak sedikitpun. Tapi, biarlah. Biarlah kuterima semua itu. Biarlah aku pergi. Membawa duka ini. Membawa hati yang kini tersakiti. Aku rela meskipun kau benar-benar harus pergi dari hatiku.
Meski penantian ini, tidak berakhir manis, darinya aku banyak belajar. Tentang sebuah keikhlasan. Ikhlas melepaskan kepergiannya, mampu membuatku lebih tegar. Tentang kata mencintai. Aku tidak boleh terlalu mencintai seorang insan, aku tidak boleh berharap banyak pada insan sebab nantinya kecewa lah yang kutemui.
Aku menyadari sekarang, bukan kartena lamanya bilangan yang telah terlewat akan menjadikan hubungan semakin kuat. Ada yang lebih penting dari itu. Pondasi atas hubungan yang dibina. Jika pondasinya tidak kuat, tentu akan roboh juga.
Mungkin dia memang bukan yang terbaik untukku. Mungkin Tuhan punya rencana lain yang lebih indah buatku. Atau mungkin Tuhan ingin mengingatkanku agar tidak menyiakan nurani, agar lebih tegas dalam masalah hati. Dia ingin agar urusan hatiku, selalu kuserahkan padaNya, sebab Dia lah yang punya kuasa penuh untuk membolak-baliknya.
Hati, meski kita merasa memiliki, sesungguhnya bukan milik kita seutuhnya. Tidak ingin lagi kusia-siakan hatiku. Biarlah kujaga tanpa harus disentuh lagi, sampai Tuhan mengirimkan seseorang untuk menjemputnya dalam bingkai yang Dia restui. Pada watu dan saat yang indah...
Bila yang tertulis olehNya engkau yang terpilih untukku 
Telah terbuka hati ini menyambut cintamu.... 
 Padangsidimpuan, 17 sept 2012

2 komentar:

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...