Selasa, 19 April 2011

ARIF KECIL

Ketika malam datang mencekam
Kulihat si Alif kecil yang malang
Duduk tengadah ke langit yang kelam
Meratapi nasib diri


Sepenggal bait di atas mengingatkanku tentang kisah sedih di hari Minggu, tepatnya kisah seorang anak kecil yang harus menanggung beratnya beban hati karena perpisahan kedua orangtuanya.

Dia masih terlalu kecil sebenarnya untuk urusan seperti itu. Dia belum mengerti apa-apa. Masih balita berumur 2 tahun. Dia dipisahkan dari ayahnya oleh orang yang tidak menyukai profesi sang ayah. Entah apa yang ada dalam fikiran orang dewasa sehingga tega memisahkan ayah dan anak. Dia tentunya tidak mengerti, kenapa sejak saat itu dia tidak pernah lagi bertemu dengan ayahnya.
Dia tumbuh dalam keluarga yang tidak lengkap, tanpa ditemani sosok bernama ayah. Mungkin di hatinya, ayahnya telah meninggal dunia. Fisik anak ini tidak memperlihatkan bahwa dia telah banyak melalui masa-masa sulit dalam hidupnya. Tapi psikisnya? Bathinnya pasti sangat menderita. Ketika ke sekolah, anak-anak lain diantar oleh ayah dan ibunya, dia tidak pernah sekalipun mendapat perlakuan seperti itu. Dia dating sendiri dengan berjalan kaki tanpa seorangpun yang mengantarnya. Dia mencoba maklum dengan keadaan dirinya. Namun, benteng yang telah dia bangun akan segera hancur saat teman-temannya menanyakan perihal dirinya. Kenapa dia dating sendiri? Ketika dia diolok-olok oleh teman-temannya karena keberadaan ayahnya tidak jelas.
“Dimana ibumu?” seorang teman bertnya.
“Kerja.” Jawabnya singkat
“Ayahmu?” Tanya teman yang lain
Anak itu terdiam.
“Ayahmu?” Tanya yang lain lagi.
Masih terdiam.
“Ayahmu?”
“Aku tidak tahu” dia akhirnya menjawab.
“Kau tidak tahu dimana ayahmu? Pasti kau tidak punya ayah kan?” ejek temannya lagi.
“Aku punya ayah.” Jawabnya gusar.
“Tapi, dimana ayahmu? Kenapa kau tidak tahu dimana dia? Kau anak haram ya? Ejek mereka lagi sambil tertawa.
“Aku bukan anak haram. Aku punya ayah. Aku punya ayh. “ Dia semakin gusar.
Mata itu melotot. Melotot kesedihan. Dia tidak lagi bisa menahan airmatanya. Genangan air di pelupuk matanay tidak terbendung lagi. Anak itu menangis. Menangis yang menyayat hati.
Tidak bisa disalahkan jika dia menjadi sangat membenci ayah dan ibunya. Anak mana yang tidak ingin mempunyai keluarga yang lengkap. Jika salah satunya telah meninggal dunia, dia masih bias dengan tenang menjawab, tanpa ada tekanan, bahwa ayah atau ibunya telah meninggal dunia. Yang bertanya pasti terdiam, atau meminta maaf serta takkan pernah mengulangi pertanyaan yang sama. Namun, jika belum meninggal dunia, tapi tidak diketahui rimbanya, tentu si anak akan bingung. Masih ada. Tapi dimana? Seperti apa rupanya? Mengapa tidak pernah menemuinya? Begitu bencikah padanya hingga sekalipun tidak pernah mau menjumpainya? Hal-hal seperti itu yang akan dilalui seorang anak. Wajar saja jika dia membenci kedua orangtuanya. Semakin pendiam. Hidup dalam dunianya sendiri.
Apa yang ada dalam fikiran orang dewasa? Mengapa memilih perpisahan sebagai jalan keluar? Tidakkah mereka mengerti ada yang terluka hatinya karena pilihan tersebut? Hati yang sangat terluka, tergores sangat dalam? Itulah anak-anak, buah hati yang lahir dari cinta kasih mereka dan harus menanggung penderitaan karena perpisahan kedua orangtuanya.
Apa yang ada dalam fikiran orang dewasa?

Kilat menyambar hujan pun turun
Semakin basah hatinya yang resah
Kapankah semua ini kan berakhir
Di jalanan penuh duri *Snada*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...