Selasa, 18 September 2012

Jejak di Dua Kota

“I have a dream. I want to continue my study at archeology UGM. If I do my best, I believe I can. I can be there as soon as possible. After graduated from high school, I believe I’ll be there.” Sebuah catatan yang kubaca dari tulisannya tentang mimpi yang dia punya. Saat itu, dia sedang mengikuti bimbingan belajar di sebuah tempat bimbingan di kota Medan. Aku bisa merasakan semangat yang dia punya dengan membaca tulisan itu. Tulisan tentang sebuah mimpi miliknya. ### Polonia, 2 Juli 2011 pukul 18.30 PM Setengah tidak percaya kupandangi dia. Sebentar lagi dia akan masuk ke dalam untuk melakukan penerbangan pertamanya. Kucek ulang barang-barang bawaannya. Kepergiannya ini tidak pernah kami duga karena sesungguhnya kami tidak mengharapkannya. Yogyakarta. Tempat itu terlalu jauh buat kami. Terlalu sulit untuk kami raih. Kami sekeluarga pada awalnya terkesan tidak setuju atas pilihannya untuk menuju kota pelajar itu. Alasannya cukup klasik. Masalah biaya. Jaraknya yang lumayan jauh, ongkos yang harus dibayar juga tidak sedikit. Tidak memungkinkan untuk bisa pulang, terlebih saat lebaran. Lebaran adalah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga. Masa seperti itu akan tetap menyisakan sedih meskipun telah kita coba kuat-kuat untuk menepisnya. Kami semua telah mencoba meyakinkannya bahwa UGM bukan pilihan yang tepat. Tetapi dia tetap bersikukuh. Tidak bergeming sedikitpun dari pendiriannya. Pada akhirnya, dia menjadikan UGM pilihan pertamanya saat mendaftar ujian masuk universitas tersebut. Tidak seorang pun dari kami yang mengharapkan dia lulus di sana. Akan tetapi kenyataan menjawab lain. Dia lulus untuk jurusan yang sangat diinginkannya itu. Kelulusan itu membuat kami bahagia, tetapi diiringi dengan airmata. Airmata kepedihan. Pedih dengan nasib. Buat keluarga besar kami yang hidup dengan gaji dua orang guru SD di desa yang terbilang cukup terpencil, akhir bulan adalah saat-saat menggetirkan. Ketika uang yang di tangan tidak lagi memadai. Dengan apa dia akan diberangkatkan? Ketidakberharapan itu membuat kami tidak mempunyai persiapan. Terlebih ibu. Mendengar kabar itu, dia yang sedang menulis RPP dan silabus, terhenti seketika. Seperti waktu yang terhenti, itulah yang ibu rasakan. Dia terdiam. Diam memikirkan anak yang akan menuju kota yang jauh. Tuhanku, sungguh Engkaulah yang menentukan semua ini. Engkau tahu aku sanggup melakukannya maka Engkau berikan masalah ini untukku. Aku bahagia ya Tuhan untuk keinginan anakku yang tercapai. Cita-cita yang dia idamkan. Tetapi ya Tuhan, Engkau juga tahu keadaan ekonomiku yang juga begitu terhimpit. Aku tahu Engkau tidak pernah zhalim pada hambaMu. Berikanlah aku jalan keluar terbaik ya Tuhanku untuk masalahku ini. Aku yakin, inilah yang terbaik dariMu. Mudahkanlah urusanku. Lapangkanlah dadaku Berikanlah jalan keluar terbaik untuk masalahku. Ibu berkata-kata sendirian sembari terus menulis dengan hati yang ikut menangis meski setetes airmata pun tidak keluar dari pelupuk matanya. ### 29 Juni 2011 Medan, pukul 20.00 “Za, hari ini pengumuman SNMPTN kan? Coba cek dulu Dek. Lulus atau gk Afif kita. Kalau feeling kakak, dia lulus. Tapi bukan di UGM. Di USU atau UNIMED dia lulusnya. Kasihan ibu kalau dia lulus di UGM. Berapa ongkos kesana ya? Sekarang lagi akhir bulan pula. Udah sekarat keuangan. Sama kayak kita.” Ujarku. “Iya kak. Aku juga berharap seperti kakak. Aku udah browsing Kak. Tapi masih loading dari tadi. Agak lelet nih Kak. Sabar ya. Kalau udah berhasil, aku kasih tahu.” “Ok.” Selang beberapa menit kemudian, Za berteriak “Kaaak.” “Ada apa Za?” aku mendekat ke arahnya yang sedang melihat sesuatu di layar yang mengejutkannya. “Afif lulus di UGM kak. Dia lulus pilihan pertama. Aku nggak salah lihat kan Kak?” dia sedikit bersedih. “Nggak. Kamu gk salah lihat. Itu memang namanya. Kok malah sedih gitu? Harusnya senang dong.” “Ibu Kak. Aku mikirin ibu. Aduh si Afif ini. Nggak mau dengerin kita sih. Kekmana nih Kak?” “Nggak masalah itu Dek. Kalau sudah di hadapan kita, kita pecahkan sama-sama masalahnya. Apa saja persyaratannya? Buka halaman selanjutnya dulu Dek. Biar kita sekalian ngasih tahu sama Ibu beserta persyaratan yang harus dilengkapinya.” Kami membaca persyaratan yang harus dibawanya saat registrasi. Disebutkan registrasi dilaksanakan pada 1-4 Juli 2011. Hari ini sudah 29 Juni 2011. Hanya punya waktu empat hari untuk melengkapi persyaratan yang jumlahnya juga seabrek. “Kak” badan dan wajah Za melemas. “Udah, tenang aja Za. Kasih tau aja dulu Ibu. Di sms aja. Malam ini kita fikirkan jalan keluarnya. Yang penting ibu telah kita kabari. Urusan lainnya, kita fikirkan besok. Insya Allah ada jalan keluarnya.” Jawabku. Padangsidimpuan, pukul 21.00 Handphone Ibu bergetar. Ada sms masuk. Bu Alhamdulillah si Afif lulus Arkeologi UGM. Za. Begitu pesan yang Ibu terima. Ibu tersenyum getir membaca sms itu. Ibu tahu, Afif sangat menginginkan belajar di universitas kebanggaan itu. Ibu tidak pernah menahan anak-anaknya menggapai cita-cita yang diimpikan sejak lama. Ibu juga tidak bisa melihat akibat seandainya keinginan itu tidak dikabulkan. Afif, adalah anak yang begitu bersemangat untuk meraih mimpi-mimpinya. Apapun akan dia lakukan. Bahkan sebelum ujian SNMPTN, dia tidak berharap muluk-muluk dari ibu. Dia bertekad, jika hanya uang yang menjadi masalah utama, dia rela bertempat tinggal di mesjid, untuk mengurangi biaya hidup. Hanya satu yang dia minta, dia diizinkan untuk melangkahkan kakinya di kota pelajar yang penuh gairah ilmu itu. Masalah klasik itu sangat tidak bisa ibu hindarkan. Ibu benar-benar tidak memiliki uang lebih untuk memberangkatkannya. Hal itu yang membuat fikiran ibu puyeng. Pusing yang berlipat-lipat. Hanya memasrahkan diri pada pertolonganNya, itulah yang sanggup untuk ibu lakukan. Ketika tidak ada seorangpun yang mampu menolongmu dari keterpurukan, yakinlah hanya Dia tempat meminta pertolongan yang utama. Ibu menyabarkan hatinya dengan untaian kalimat itu. Berselang satu jam kemudian. “Assalamu’alaikum” suara Afif terdengar mengucapkan salam. “Wa’alaikumussalam” ibu membukakan pintu. “Bagaimana hasilnya Nak?” tanya ibu memastikan jawaban dari Afif. “Alhamdulillah Bu, lulus di UGM.” “Alhamdulillah. Kapan harus daftar ulang Nak? Apa persyaratan yang harus dibawa?” “Paling lama tanggal empat Bu, aku sudah harus di sana untuk registrasi. Registrasinya tidak bisa diwakilkan Bu. Harus oleh mahasiswa yang bersangkutan.” “Hmm, berarti harus sudah sampai di Yogya pada tanggal 4 ya? Itu juga menuntutmu untuk segera berangkat dari sini sekitar tanggal 1 atau tanggal 2. Mepet kali waktunya ya?” ibu tampak berfikir. Afif hanya terdiam. “Ya sudah, istirahat lah. Segarkan fikiran dulu. Masih banyak hal yang harus kita lakukan. Malam ini ibu fikirkan jalan keluarNya. Mudah-mudahan Allah menunjukkan jalan yang harus ibu tempuh. Insya Allah, ada jalan. Tidurlah.” Kata ibu berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. “Tunjukkan jalanMu ya Tuhan.” Doanya dalam hati tanpa ada airmata, karena airmatanya telah mengalir ke dalam, jauh ke lubuk hatinya, yang basah…. Medan, 30 Juni 2011 Kuperhatikan persyaratan-persyaratan yang harus dibawa saat registrasi. Persyaratan yang berhubungan dengan identitas atau fotokopi ijazah, masih bisa untuk diselesaikan meskipun waktunya sangat sempit. Hanya satu yang membuat keningku berkerut. Biaya yang harus segera dilunasi. Aku mencari-cari informasi untuk menanyakan tentang hal tersebut. Menanyakan keringanan. Haruskah dilunasi semuanya saat registrasi atau bisa dicicil per semester. Aku melihat ada nomor telepon yang bisa dihubungi. Kutelpon berulang kali, tetapi selalu nada sibuk. Tak pernah diangkat. Ada email yang juga tertera. Aku juga mengirimkan email ke alamat tersebut berharap ada balasan. Setengah hari kutunggu, tidak ada balasan dari pihak penyelenggara yang masuk ke inboxku. Aku ingin tahu rencana ibu. Meskipun belum ada kepastian yang kuperoleh, aku menghubungi nomor ibu. “Assalamu’alaikum. Ada apa Nak?” “Wa’alaikumussalam. Ini Bu, terkait biaya yang harus dilunasi. Ibu sudah tahu?” “Belum Nak. Kenapa?” Aduh, gimana bilangnya ya? Nanti ibu makin pening mikirinnya. Tapi kalau aku nggak memberi tahu, bermasalah pula si Afif sesampai di sana. “Eng, ini Bu, total yang harus dibayar berkisar 12 juta. Di sini tertulis semua itu harus dibawa saat registrasi. Aku sudah mengirimkan email menanyakan tentang keringanan untuk yang tidak bisa segera melunasinya. Masih menunggu jawaban sih, Bu.” dengan berat hati kusampaikan pada Ibu berita itu. “Oh, begitu pula ya Nak peraturannya. Sepertinya ibu harus konsultasi dengan pamanmu yang berada di Yogya. Mungkin dia punya pemikiran lain.” “Iya, Bu. Aku juga sudah list teman-teman yang ada di Jawa. Siapa tahu mereka punya sedikit gambaran meskipun tidak kuliah di situ. Mungkin adiknya yang kuliah atau adik temannya. Ibu nggak sendirian ya Bu. Jangan bersusah hati Ibu ya.” pintaku. “Iya Nak. Tenang saja.” “Apa tanggapan ayah Bu?” “Baiknya tidak usah bertanya perihal ayahmu. Seperti tidak tahu tabiatnya saja. Tidak ada respon darinya. Dia hanya diam, tidak bisa diajak komunikasi. Ibu sendirian. Jadi, ibu hanya punya kalian. Sampaikan saja informasi yang kalian dapatkan. Itu sudah sangat membantu. Masalah lainnya, kita bertawakkal saja pada Allah. Selalu berbaik sangka padaNya. Ibu mau menelpon pamanmu dulu ya Nak.” “Oh, iya Bu. Assalamu’alaikum.” Ayah. Selalu seperti itu. Tidak pernah mau tahu. Bagaimana kami bisa mengingatmu saat jauh. Ahhh, aku menghela nafas. Berat. ### Padangsidimpuan, 30 Juni 2011 Ibu baru pulang dari sekolah saat menerima telepon. Udara panas, gerah dan pemikiran yang sedikit ruwet, sedikit membuat badan ibu lemas, gemetar. Tapi ibu berusaha untuk tidak menunjukkannya pada anak-anaknya. Terutama pada si Afif. Suamiku. Kapankah kau mau berinisiatif untuk biaya sekolah anak-anakmu? Mengapa terdiam? Mengapa hanya harus aku yang memikirkannya? “Pak, si Afif lulus di UGM.” Ibu membuka suara. Hening. Beberapa saat. Masih hening, beberapa saat kemudian. Ibu mendengus sebal. Aku juga bisa tanpamu. Akhirnya bisik itu yang muncul dalam benak ibu ketika ayah tidak juga bergeming dari diamnya. “Si Afif belum pulang Nak?” tanya ibu pada kak Sara, menantunya yang masih tinggal di rumah sejak pernikahannya dengan abang dua tahun yang lalu. Dan kami tidak keberatan. “Belum Bu. Bentar lagi mungkin. Bagaimana keberangkatannya Bu? Kapan rencana dia akan berangkat Bu?” Ibu menghela nafas, berat. “Dari informasi yang ditentukan pihak universitas, dia besok telah harus berangkat. Mengingat perjalanan yang jauh dan cukup berliku.” “Hmm, kalau Ibu perlu, aku punya tabungan. Meskipun tidak terlalu banyak, tapi mudah-mudahan bisa membantu.” Kak Sara menawarkan. Subhanallah. Engkau memang Maha Pemurah. Riang, Ibu memuji kebesaran Allah. “Alhamdulillah. Ibu memang memerlukan sejumlah uang. Terimakasih anak telah berbaik hati membantu kesulitan Ibu.” “Saya juga patut berterima kasih kepada keluarga ini, terlebih pada Ibu, karena Ibu dan keluarga ini telah sangat baik pada saya, dan tidak membedakan saya dengan anak-anak Ibu.” ujarnya, merendah. Beban di pundak ibu telah sedikit berkurang dengan tawaran menantunya. Setiba Afif di rumah selepas menunaikan shalat Jumat, ibu menanyakan persiapan yang telah dia lakukan. “Masih ada persyaratan yang harus dilengkapi yang belum terpenuhi Nak?” “Ada Bu. Kartu perpustakaan dan kartu pelajarku Bu. Nggak ada kutemukan.” Ibu berfikir sejenak. “Pergilah ke sekolah untuk mengurusnya. Mudah-mudahan urusanmu dimudahkan oleh Allah. Pandai-pandai saja membujuk pihak sekolah agar kartu-kartu itu bisa kau dapatkan selambatnya besok sore. Besok kau sudah harus berangkat, bagaimana pun caranya.” “Iya, Bu. Tapi aku makan dulu ya Bu. Aku lapar.’ wajahnya memelas. Ibu tersenyum. Dia bahkan sampai lupa mengisi perutnya yang kosong. Kehilangan selera. “Tentu saja.” Ibu kemudian menghubungi paman yang berada di Yogya. Setelah berbasa basi sejenak, ibu langsung ke pokok pembicaraan. “Ada apa Kak?” “Begini, keponakanmu lulus di Arkeologi UGM. Dia harus registrasi tanggal 4 Juli nanti. Kalau dipaksakan naik bus, mungkin sampai empat hari. Jika sampai empat hari kemudian di tujuan, tidak akan jadi masalah. Tapi jika tidak, akan sia-sia rasanya. Bagaimana menurutmu?” “Kalau begitu persoalannya, baiknya naik pesawat saja Kak. Memang lebih mahal biayanya. Tapi lebih memungkinkan tiba di tujuan sebagaimana mestinya. Kapan dia berangkat Kak?” “Rencana besok malam dia berangkat. Sebab hari ini dan besok masih mengurus beberapa administrasi yang harus dia bawa.” “Ke Medan dulu?” “Ya, menurut kakak, dia ke sana dulu karena kakak-kakaknya bisa membantunya setiba di sana.” “Ya, hemat saya juga begitu Kak. Jadi kalau dia berangkat besok malam, akan tiba di Medan lusa. Ambil penerbangan lusa saja. Tapi dia sudah harus tiba di Jakarta di hari yang sama. Aku yang menjemputnya nanti di bandara. Tapi dari Yogya, kami akan naik bus. Perjalanan dari Jakarta menuju Yogya menghabiskan waktu 13 jam juga Kak. Makanya aku sarankan dia tiba di Jakarta di hari yang sama.” “Bagaimana baiknya sajalah. Kakak dan abangmu, kemungkinan besar tidak bisa mengantarkannya ke sana. Jadi kakak sekalian meminta tolong padamu untuk mengurusnya selama masa registrasi juga mencarikan tempat tinggalnya di sana nanti.” “Beres Kak. Serahkan saja semua yang harus di urus selama di Yogya pada saya kak. Kakak tak perlu khawatir.” “Terima kasih banyak atas bantuannya. Maaf, jika kakak telah merepotkanmu.” “Ah, jangan berfikiran seperti itu kak. Sesama saudara harus saling membantu.” Percakapan dengan paman, adik ibu membuka celah baik yang semakin besar. Medan, 30 Juni pukul 13.40 WIB Nak, carikan tiket pesawat paling murah untuk penerbangan lusa. Adikmu akan naik pesawat ke Jakarta. Nanti di Jakarta, pamanmu yang akan menjemputnya. Besok malam, dia akan meluncur dari rumah menuju Medan, tempat tinggal kalian. Segera kabari ibu harga tiket pesawatnya, agar ibu bisa membagi uang yang sangat banyak ini. Kau mengerti maksud Ibu kan? Pesan ibu ditelpon. Mencari tiket pesawat. Sedikit runyam, karena aku belum pernah mengurus perihal seperti ini sebelumnya. Aku memang pernah menemani seorang teman satu kost membeli tiket pesawat di salah satu travel dekat kost dua tahun lalu. Tapi aku tidak mengerti prosedurnya sama sekali. Kami hanya datang ke travel tersebut, temanku itu menyebutkan kota tujuan dan tanggal berangkatnya, lalu petugas travel menyebutkan sejumlah harga, dia memberikan sejumlah uang, petugas travel menyerahkan tiket pesawat ke tangan temanku itu, urusan selesai, kami pulang. Hanya begitu. Aku berfikir apa yang harus kulakukan. Beruntung, beberapa detik kemudian, aku teringat sebuah nama. Ve, teman dari temanku yang sekarang menjadi temanku, baru saja membuka sebuah travel yang menyediakan tiket pesawat domestik dan mancanegara. Aku bisa minta bantuannya. Segera ku email dia. Smile : Ve. Masih jalan travel mu kan? Beberapa saat kutunggu. Balasan Ve, muncul. Ve : Ya, ada apa? Smile : Aku mau booking tiket pesawat paling murah ke Jakarta Ve : Ok. Bisa ku cek. Berangkat tanggal berapa? Kota asal? Smile : Lusa. Medan. Ve : Ok. Ku cek dulu ya. mohon sabar menunggu. Menunggu jawaban Ve, aku iseng membuka situs sebuah travel. Lion Air. Ve : Maaf, membuatmu menunggu. Smile : Tak apa. Bagaimana? Ve : Sudah kujelajahi semua layanan penerbangan, yang paling murah berangkat pukul tujuh malam, lion, 957ribu. Harganya tidak jauh beda dengan yang kutemukan di situs tersebut. Smile : Kira-kira masih ada kemungkinan turun nggak? Ve : Nggak bisa dipastikan. Kadang iya, kadang nggak. Kalau saran aku ambil yang ini aja. Semakin cepat prosesnya, semakin baik. Smile : Ok. Aku kasih tahu Ibu dulu ya. nanti kalau jadi kukabari. Thanks ya. Ve : Yoi. Sama-sama Segera kukabari ibu. Ibu bilang baru bisa transfer setelah sore. Smile : Ve, masih ol? Ve : Ya Smile : Uangnya baru ada sore. Bagaimana itu? Ve : Booking tempat memang bisa kapan saja. Tapi pembayaran dilakukan setengah jam setelah booking. Begitu peraturannya. Smile : Oh, begitu ya. berarti kalau sudah ada kabar dari Ibu, aku contact kamu lagi ya. Belum bosan kan? Maaf, merepotkan. Ve : Its okay girl  Ku sms ibu. Bu, kalau sudah ditransfer uang untuk tiket pesawat itu, kasih tahu aku ya Bu. Agar tiketnya bisa segera fix urusannya. Padangsidimpuan, pukul 14.30 WIB Afif pulang dari sekolah dengan mata berbinar. “Aku tak perlu menunggu lama mendapatkan kartu-kartu ini Bu.” menunjukkan kartu tersebut pada Ibu. “Mendengar kabar kelulusanku di universitas tersebut, para guru yang masih berada di sekolah tadi berseru bangga. Menanyakan keperluanku dan menyelesaikannya secepat mungkin serta memberikannya padaku.” “Kau telah membuat bangga sekolah ini. Mengukir sebuah sejarah yang jarang didapatkan oleh siswa lainnya. Kau berhak mendapat pelayanan terbaik. Selamat.” “Guruku mengatakan begitu dengan menjabat tanganku Bu.” Afif melaporkan semua pengalamannya pada ibu. “Alhamdulillah. Kalau begitu, sekarang temani ibu ke pasar membeli beberapa keperluanmu.” “Siap Bos!!” Medan, pukul 16.07 WIB Smile : Ve, aku mau booking sekarang. Sudah berapa harga tiketnya?” Aku tak menerima jawaban selang sepuluh menit kemudian. Ve : Sory, baru balas. Harus ku check balik. Sebentar ya. Smile : Ok. Aku menunggu, lagi. Ve : Harganya sudah nggak segitu lagi. 967 ribu. Tetapi tetap itu yang termurah. Bagaimana? Smile : Booking buatku. Satu kursi saja. Ve : Ok. Atas nama siapa? Smile : Afif Ve : Ok. Emailmu? Smile : Untuk? Ve : Mengirimkan tiketnya. Nanti kau bisa print sendiri. Atau kau mau jemput ke kantorku? Smile : Oh. Via email saja. Smile53@yahoo.com Ve : Setelah transfer bukti pembayaran, kabari aku. Smile : Beres. Aku mau gerak. Kirimkan saja nomor rekeningnya. Sms saja. Aku paling malas mencatat. Ve : Baiklah… Aku mencari atm terdekat. Melakukan transfer yang diperlukan. Kembali ke rumah. Online, lagi. Smile : Sudah Ve. Ve : Ok. Segera kuproses. Mouse di depanku berkedip beberapa lama. Masih menunggu. Ve : Sudah kukirim ke emailmu. Silahkan di check. Smile : Siip  Aku check inbox emailku. Tiket yang kubutuhkan telah nangkring di sana. Kuhidupkan printer yang sehari ini belum disentuh. Mencetak data. Setelah hasil keluar, aku tersenyum. Akhirnya…. Smile : Thanks Ve. Ve : Welcome  Bu, sudah kupesan tiketnya. Masalah tiket, aman  Kukirim sms itu. Padangsidimpuan, 1 Juli 2011 Ibu telah berkutat di dapur sejak pulang dari sekolah dan menunaikan shalat. Dia tak banyak bicara. Juga tidak berdendang mengikuti alunan lagu yang diputar salah satu stasiun radio seperti biasa. Hening. Hanya hening. Derit pintu terdengar dari pintu samping. Seseorang melongok ke dapur, ibu terkesiap dan menghapus bulir yang tak sengaja jatuh dari sepasang mata indahnya. “Bu, apalagi yang harus kusiapkan?” Afif bertanya pada ibu. Afif memang tipe anak yang sangat manja. Dia tidak akan yakin sebelum ibu memeriksa barang-barang bawaannya. Ibu beranjak dari dapur. Mengikuti Afif ke kamar. Itu salah satu yang mengkhawatirkan ibu tentang perilakunya. Apa-apa harus bertanya pada ibu. Jika jauh, sanggupkah? “Nanti kalau sudah di sana baik-baik jaga diri.” nasehat ibu sembari memeriksa barang-barangnya. “Ibu akan selalu mendukung kalian untuk sekolah. Apapun akan Ibu usahakan agar kalian bisa tetap sekolah setinggi-tingginya. Tapi hendak kau ingat, tugasmu ke sana adalah untuk belajar. Kau boleh benci pada universitas itu, benci untuk berlama-lama di sana, sehingga itu memacumu untuk terus semangat belajar, lulus dalam waktu tercepat dengan hasil yang memuaskan. Kau telah membuat ibu bangga. Jaga itu Nak.” “Iya, Bu. Afif mengerti.” mengangguk takzim. Ibu kembali ke dapur. Salah satu kebiasaan yang ibu lakukan jika kami akan bepergian jauh, dia akan memasak menu favorit kami, membuatkan bekal di jalan, membawakan oleh-oleh khas kota yang kami senangi dalam jumlah yang tidak sedikit. “Di sana kalian susah mendapatkannya.” Jika kami tanya, itu yang selalu menjadi alasan ibu. Karena itu, kami tidak lagi pernah bertanya. Ucapan terimakasih tak terhingga yang bisa kami katakan dan semoga Tuhan Yang Kuasa membalas semua kebaikan itu dengan surgaNya. Pukul tujuh malam, bus sewa yang dipesan telah datang menjemput. Ibu memeluk Afif erat. Teringat masa kecilnya yang sangat jauh beda dengan sekarang. Afif yang linglung, mudah sakit, dan sedikit lamban berfikir sekarang telah jauh lebih baik. Linglungnya telah jauh berkurang meskipun masih tersisa sedikit, fisiknya sudah lebih kuat sebab dia suka mengkonsumsi buah dan sayuran sehat meskipun terkadang jika terkena hujan dia akan terserang flu berat, cara berfikirnya yang cenderung lambat telah dilatih berkali-kali lebih banyak dari keadaan biasa sehingga dia telah lebih mampu memakai nalarnya dengan lebih baik. “Jaga dirimu baik-baik Nak.” Ibu berusaha sekuat tenaga mengikat airmatanya agar tidak tumpah di depan Afif. Ibu tak ingin semangat Afif mengendor dengan linangan airmata ibu. Bus berjalan menuju stasiun. Naluri ibu menginginkan untuk menyusul ke stasiun. Jika tidak bisa mengantar ke daerah tujuan, setidaknya ibu masih bisa melepas anak kelima nya itu dari stasiun. Sesampai di stasiun, ibu mendapati Afif telah terkulai lemas. Dia muntah-muntah. Perjalanan belum dimulai, tapi dia telah kurang fit. Mungkin kecapaian. Ibu membersihkan baju Afif yang terkena air muntah yang muncrat ke tubuhnya. Ibu menyuruhnya meminum air mineral yang dibawanya dari rumah dan memberikan obat oles untuk menghangatkan badan. Sebelum mobil tumpangannya bergerak, ibu tidak beranjak satu langkah pun dari samping Afif, masih terus memijat pundak Afif agar angin jahat dari tubuhnya keluar dan menghentikan mual yang menyebabkan muntah. Sepuluh menit. Mobil tersebut mulai merayap di jalan raya. Hanya lambaian tangan ibu penanda perpisahan itu telah terjadi. Bulir itu pun menetes, tanpa diminta. Medan, 02 Juli 2011 pukul 08.00 WIB Sudah dimana posisi? Baru sampai loket Kak. Pukul delapan pagi, dia masih baru sampai di stasiun. Sedikit lambat dari kebiasaan. Normalnya, pukul tujuh mobil tumpangan paling lama telah tiba di stasiun. Terkadang, jika supir menyetir bagai kesetanan, pukul lima telah tiba di stasiun dengan perasaan nyawa berada di awang-awang selama perjalanan dan baru mampir lagi ke tubuh setelah berhenti di beberapa titik pemberhentian untuk istirahat sang supir atau telah tiba di stasiun tujuan. Kenapa lama? Jalanan macet Kak. Oh, pantas saja. Aku dan Za telah memasak lebih banyak hari ini untuk menyambut kedatangannya. Afif memang makan dengan lahap dalam porsi banyak. Masih masa pertumbuhan. Kami berencana menunggunya untuk makan bersama di pagi itu. Tetapi, dia masih belum sampai di rumah sementara perut telah meronta minta bagian. Akhirnya, kami memutuskan untuk sarapan lebih dahulu. Dua jam kami harus sabar menunggu sampai akhirnya kami mendengar bunyi klakson mobil yang mendekat. Hari telah pukul sepuluh. “Kenapa lama?” “Aku tadi lupa Kak alamatnya. Jadi ngantar penumpang lain dulu. Alamatnya jauh-jauh Kak. Makanya jadi lama. Kak, aku lapar.” “Oh, iya. Makanlah. Kakak tadi telah makan. Mau nungguin rencana, tapi kelamaan. Setelah makan dan mandi, istirahat lah sejenak. Kita berangkat sore ke bandara. Kau masih lelah, karena itu harus istirahat.” “Iya, Kak.” Kutatap lekat-lekat wajah manja itu. Wajah yang kemungkinan besar tidak akan kutemui jika dia belum menyelesaikan studinya. Bahkan untuk pulang saat semester, harus berfikir matang-matang, membuang uang atau tidak. Bu, Afif telah sampai. Sekarang sedang makan. Polonia, pukul 20.30 WIB Pesawat yang akan ditumpanginya delay karena cuaca buruk. Beberapa hari ini, cuaca tidak menentu di wilayah Medan dan sekitarnya. Terkadang sudah sangat terik di siang hari dan hujan deras sore harinya. Beruntung, aku dan Za tidak langsung pulang setelah tadi dia masuk ke ruang tunggu. Mengetahui pesawatnya delay, aku menyuruhnya keluar menemui kami lagi. Kulihat badannya lemas dan dia merasa mual-mual. Dia belum menunaikan shalat, karena itu dia menuju mushalla yang ada di bandara setelah menitipkan tas yang tidak dimasukkan ke bagasi pada kami. Sengaja kami membawa bekal makan malam, bermaksud hendak makan di sana, untuk menghemat. Makan di restoran bandara, harganya bisa mencapai langit, tak sanggup kami capai. Kami mengajaknya makan setelah dia selesai shalat. Lagi-lagi dia makan dengan lahap. Setelah makan, wajah itu bersinar kembali. “Hmm, rupanya tadi lapar ya Dek?” tanyaku. Dia mengangguk. “Haha. Pantasan sakit kepala. Adik saya ternyata kelaparan.” Za menggodanya. Bercanda beberapa saat sebelum dia kembali memasuki ruang tunggu. “Baik-baik di sana. Belajar yang tekun dan sungguh-sungguh. Di sana tidak ada keluarga yang bisa mengunjungimu seperti waktu di rumah, pandai-pandailah mengelola keuanganmu. Usahakan agar cukup. Tapi kalau kurang, jangan juga tidak dikatakan” pesan Za mengingatkannya. “Iya Kak.” “Ingat pasukan Thariq bin Ziyad sesampai di Spanyol waktu itu?” aku bertanya. Dia menolehku, dan menggeleng. “Sesampai di Spanyol, Thariq membakar habis semua kapal yang membawa mereka ke sana. Lalu ia berpidato di depan pasukannya. Kita telah sampai di wilayah musuh. Jika maju, musuh telah menghadang di depan. Jika mundur, lautan yang ganas juga siap menelan. Apapun keputusan yang kita ambil, resikonya sama, kematian. Jika memilih maju dan bertempur melawan musuh kemudian meninggal, meninggalnya itu dalam keadaan syahid. Jika memilih mundur, maka akan tenggelam di lautan luas itu, dan hanya akan mati sebagai pengecut. Maka semangat pasukan Thariq pun berkobar-kobar untuk bertempur hingga darah penghabisan demi satu tujuan Islam yang mulia atau mati sebagai syuhada. Hingga sejarah mencatat, kemenangan berada di tangan umat Islam.” “Kamu mengerti?” Lagi-lagi, Afif menggeleng. “Anggap saja kondisimu sekarang, sama dengan situasi pasukan Thariq tersebut. Jika mundur, akan menjadi pecundang, jika maju halangan dan rintangan akan menemuimu kelak, salah satunya mungkin kekurangan uang atau rindu pada keluarga. Namun jika kamu bersabar, maka akan kau temui kemenangan, ilmu yang kau peroleh, lulus dari universitas itu dengan baik dan membawa oleh-oleh pada orangtua dengan segenap pengalamanmu di sana. Sanggup?” “Iya kakakku sayang. Ini mimpiku. Tidak ada yang bisa menggapainya selain aku sendiri.” Afif mengangguk, mantap. “Subhanallah. Selamat berjuang. Semoga sukses.” Kami melepas kepergiannya. Lagi-lagi lambaian tangan. Lambaian tangan kepergian, juga kehilangan. Namun kami tetap harus menabahkan diri dan menyabarkan hati demi sebuah cita-cita. Cita-cita mulia yang diajarkan Nabi. Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina. Dulu, aku adalah inspirasi baginya. Inspirasi untuk berprestasi di sekolah, memenangkan berbagai lomba, menjadi utusan sekolah dalam olimpiade, masuk universitas favorit dengan jalur ujian masuk. Semua murni, tanpa ada unsur-unsur pembersihan. Tahap-tahap itu telah dijejalinya dengan baik. Hari ini, dia pergi untuk menggapai mimpi selanjutnya. Aku belajar banyak darinya. Untuk tidak menyia-nyiakan mimpi. Untuk bermimpi dan bangun mengejar mimpi itu. Ibu, Afif telah landing. Kutatap langit malam itu. Tidak ada gemintang. Namun, mimpi yang telah kubangun lagi di hatiku adalah gemintang yang kelak akan tetap bersinar saat aku berusaha meraihnya. Terima kasih untuk pelajaran hari ini, adikku yang manja. Pelajaran tentang mimpi yang kau punya. Jejak yang kau tinggalkan, telah membekas, di hatiku…. P. Sidimpuan, 9 Agustus 2012 pukul 01.18

2 komentar:

  1. teringat waktu mau ke negeri jiran dulu ... hiks ... hiks..

    BalasHapus
  2. mengenang masa lalu itu penting, karena ia merupakan bagian dari sejarah hidup kita, semoga darinya kita bisa belajar banyak dan memetik banyak hikmah. amin... :-)

    BalasHapus

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...