Jumat, 21 September 2012

Zona Ketidaknyamanan

Semenjak aku keluar dari kehidupan kampus, aku memilih profesi sebagai wirausaha begitu menjejakkan kaki di universitas kehidupan. Pilihan aneh menurut sebagian banyak orang yang mengenalku.
“Sudah selesai kuliahnya? Kerja dimana atau nagajar dimana sekarang?” begitu pertanyaan yang mereka lontarkan.
“Aku mengelola cafe.” jawabku santai, dengan senyum manis yang kumiliki.
“Sayang sekali ya. Kenapa tidak mengajar saja atau kerja dimana gitu.” pertanyaan mereka selanjutnya.
Aku tidak merespon. Bukan tidak punya jawaban. Hanya tidak ingin berdebat. Sebab pilihanku ini memang terkesan ‘aneh’ bagi mereka. 
Aku selalu berusaha menghindari perdebatan. Dalam perdebatan, setiap orang pasti mempertahankan pendapatnya, sama-sama ingin menang. Itulah yang tidak kusukai. Oleh karena itu, aku memilih diam. Cara aman agar perdebatan tidak bermula atau segera berakhir.
Bukan tidak ada masalah saat aku menetapkan pilihan ini. Terlalu banyak malah. Bahkan untuk menenangkan hatiku bahwa aku tidak salah memilih pun sering kulakukan ketika saat-saat galau itu muncul. Kekurangan omset. Pelanggan yang sepi. Modal yang belum terbayar. Sewa kios yang masih seperdelapan dalam genggaman. Belum lagi tagihan listrik dan air yang menunggu untuk dibayarkan. Semua itu terkadang mengerdilkan semangat untuk tetap bertahan di zona tidak nyaman ini.
Hanya senyum ibu yang menguatkan kembali jiwaku. Nasihatnya bagai oase di sahara jiwaku. Melegakan.
“Air tidak selalu pasang Nak. Pasti ada surutnya. Demikian dalam bidang yang kau geluti, dagang. Terkadang ramai, terkadang sepi. Begitulah hidup. Bagai roda yang berputar. Tak usah risau. Bersabarlah. Kelak kau akan petik dari hasil kesabaran itu.”
Ibu sangat paham alasanku atas dunia baru yang kujalani itu.
“Aku hanya ingin mengubah kehidupan kita, Bu. Tidak melulu seperti ini. Di samping, aku juga ingin menambah lapangan pekerjaan, bukan menambah jumlah orang yang ingin bekerja. Satu-satunya jalan yang ada dalam benakku adalah wirausaha, Bu.”
Ibu tersenyum, tenang menanggapi. “Ibu tidak akan memaksa kalian agar jadi seperti Ibu. Tidak akan pernah. Berlarilah, dan kejarlah mimpi yang telah kalian bangun. Kalian telah cukup dewasa dalam mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup yang kalian hadapi. Jika hanya ingin seperti ibu, hidup kalian tidak akan jauh-jauh berbeda. Hanya mengharapkan tanggal satu. Kemudian mulai mengencangkan ikat pinggang di akhir bulan. Pesan ibu, selalu ingat Tuhan dalam setiap urusan. Jika jadi pedagang, jadilah pedagang yang jujur, seperti yang dicontohkan Nabi. Sesibuk apapun, jika waktu shalat tiba, jangan pernah meninggalkannya. Semua itu hanya urusan dunia. Jangan pernah melupakan uurusan akhiratmu jua.”
Nasehat panjang ibu ketika kuucapkan niatku saat itu.
Dunia itu pun kugeluti. Niat hati ingin berwirausaha, namun pada awalnya seperti kerja serabutan. Dimana rezeki terkuak, ke sana akan kukejar.
Setahun, aku menjadi pengelola warnet, belum habis perjanjian dengan investor, aku harus rela mengalah atas janji yang diingkari. Aku pulang. Kandas harapanku kala itu. Sebuah pengkhianatan, mampu membuat hatiku porak poranda. Pulang tanpa ada pengharapan. Biarlah Tuhan yang menunjukkan jalan.
Tahukah kau, kawan! Tuhan itu memang Maha Baik. Dia menunjukkan jalan. Aku diminta kakak iparku untuk mengelola cafe bersamanya. Tawaran itu, tentu saja kuterima dengan hangat. Kakak ipar hanya menemaniku selama sepuluh hari, sebab ia pindah, membuka usaha baru di daerah asalnya. Dalam kesendirian itu, aku tetap berusaha fight. Aku tidak tahu apa-apa, bahkan memasakpun aku tidak terlalu suka, lalu aku ditinggalkan memikul tanggung jawab itu, sendirian. Aku berusaha keras belajar. Sebulan, aku pun terbiasa dengan semua urusan dapur itu.
Sudah kukatakan di awal, berada di dunia usaha sama artinya dengan menempati zona ketidaknyamanan. Hanya setahun, cafe yang kukelola, yang merupakan milik dua orang (Kakak iparku dan temannya), harus kuserahkan pada pemiliknya kembali. Sebab sang pemilik (dalam hal ini adalah teman kakak iparku) tidak hanya ingin bagian sebagai investor tapi dia juga ingin ikut serta mengelolanya.
Aku, masih dengan sikap menjaga perdamaian, menerima keputusan walaupun harus move on dari cafe tersebut. Tak apa. Pasti ada jalan lain. Dan, kututup catatan hatiku tentang cafe yang kemarin kukelola.
Dan, tahukah kau kawan, keajaiban itu muncul lagi, oleh sebuah kata: silaturrahim.
Jika kalian pernah dengar perkataan yang menyebutkan silaturrahim akan memperpanjang usia dan menambah rezeki, itu benar. Aku akan menggarisbawahi kata menambah rezeki.
Sudah kukatakan bahwa aku telah tutup buku untuk kata bernama ‘cafe’ yang pernah kukelola kemarin. Waktu setahun kurasa telah cukup untuk menambah pengalaman di bidang kuliner itu. Namun di suatu hari, kakak iparku mengajakku ke cafe, silaturrahim ke sana, mengunjungi temannya itu. Tidak terlintas sedikitpun bahwa aku akan kembali ke cafe walau saat itu aku berstatus non job. Tanpa sepengetahuanku, ternyata mereka membicarakanku. Apakah aku mau kembali ke sana?
Kakak ipar menanyakan kesediaanku lagi. Aku katakan, aku mau, asalkan sistemnya, sistem bagi hasil seperti kemarin. Teman kakak iparku itu setuju. Aku pun mengangguk mantap untuk memulai lagi jiwa petualangan itu di sana.
Rezeki tidak kuduga yang Ia hadiahkan padaku semakin menambah keyakinanku padaNya. Ketika seluruh urusan kehidupan ini benar-benar kita serahkan padaNya, Dia akan memberikan yang kita butuhkan, tanpa pernah kita duga. Yakinlah kawan!
Jadi, apapun yang kita pilih, yang kita jalani, terima saja dengan kesyukuran. Akan selalu ada kemudahan-kemudahan di balik kesukaran. Kesukuran itulah sebenarnya penambah indahnya perjuangan. Demikian dengan kisah hidup yang kujalani. Awalnya mungkin begini. Aku masih seekor semut di antara kerumunan gajah. Kerdil. Bahkan akan mudah diinjak-injak. Tapi, ketika semut kecil itu bertahan, berusaha menghindar dari pijakan kawanan gajah, pastilah dia akan menemui titik kemenangannya. Bukankah gajah yang sangat besar badannya juga bisa tumbang oleh semut kecil di saat sang gajah terlena, tidak menyadari ketika semut kecil itu menaiki tubuh tembemnya sampai ke kepala lalu memasuki telinga sang gajah sampai ke gendang telinga yang jika digigit oleh hewan sekecil itu pun akan terasa sakitnya. Bahkan gajah yang berbadan besar itu pun tumbang, kawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Si cantik elegan sahabat semua kalangan

Di Penghujung tahun 2017, dia hadir. Di antara empat bersaudara dari keluarga Xseries, dia yang tampil menawan bagiku.. "Mu...